PERMENDIKBUD

Minggu, 24 Agustus 2014

artikel : URGENSI PENDIDIKAN BUDI PEKERTI


URGENSI PENDIDIKAN BUDI PEKERTI *)


        Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat cepat dan sudah memasuki babak baru. Di semua aspek kehidupan manusia tidak luput akan kebutuhan dengan teknologi. Perkembangan itu bisa menimbulkan dampak psikis seseorang, bila tidak diimbangi dengan penguasaan mental yang baik, maka yang  terjadi adalah sikap apatis dan dilematis. Banyak manusia tergoda dan terjerumus pada pola-pola hidup instan yang semuanya cenderung masuk pada ranah negatif.
Terjadinya kemerosotan moral yang sering kita dengar dan lihat di pemberitaan sudah sangat pada titik kritis. Tawuran antar desa, perkelahian pelajar, adu jotos, korupsi merajalela, kurang sopannya individu pada individu lain dan masih banyak lagi. Kalau ini tidak segera ada gerakan cepat tanggap darurat, maka seperti apa dunia ini.
            Moral manusia memang perlu dibenahi. Nafsu yang sudah kodrati sudah ada perlu diberdayakan supaya bisa disetir oleh pola-pola akhlak yang bersumber dari nilai-nilai agama. Tilar (1999:28) merumuskan hakikat pendidikan sebagai “ Suatu proses menumbuhkembangkan eksistensi peserta didik  yang memasyarakat, membudaya, dalam tatanan yang berdimensi lokal, nasional dan global”. Eksistensi yang memasyarakat terjadi dalam proses internalisasai nilai-nilai, pembaharuan ,dan revitalisasai (penyegaran ) moral.
            Maka perlu sekali pendidikan sejak dini. Bahkan sejak dalam kandungan perlu pendidikan. Dalam dimensi agama bila sang ibu sedang mengandung, maka orang tua ada yang berusaha ( ikhtiar ) dengan membaca ayat-ayat suci dengan harapan anaknya kelak bila di dunia menjadi anak yang bermoral tinggi dan bermartabat. Kalau dalam dunia barat dalam proses pendidikan dalam kandungan oleh orang tuanya dibunyikan musik-musik klasik dengan harapan jiwa sang anak kelak bertemperamen baik.
    Konteks budi pekerti asumsi kita adalah sesuatu yang berakhlak dan tingkah laku yang baik. Tetapi sesungguhnya disamping hal tersebut pembentukan nilai-nilai jiwa manusia juga perlu digarap. Fungsi pembentukan pribadi adalah satu fungsi pendidikan (Umar Tirta Raharja dan La Sula, l995). Fungsi tersebut merupakan aplikasi dari kejiwaan pribadi manusia.
            Sebagai pendidik seyogyanya jangan segan – segan untuk membentuk jiwa-jiwa yang berbudi pekerti luhur dalam setiap waktu dan kesempatan. Jangan kita hanya mengejar aspek kognitif dan psykomotor saja tetapi faktor afektif juga sangat perlu digarap. Dengan harapan bisa untuk menjawab pola kehidupan yang penuh tantangan dan mengglobal.
A.  Hakikat Budi Pekerti
            Hawa nafsu dan pamrih merupakan sumber kegelisahan dan penderitaan. Maka hawa nafsu harus dikendalikan. Manusia harus bisa mengolah batinnya agar dapat mengatasi segi lahiriahnya. Batinnya harus selalu dekat dengan Tuhan sebagai segala sumber ketenangan. Budi yaitu pikiran yang jernih, Pekerti adalah tindakan atau tingkah laku. Di mana tingkah laku dalam keseharian harus dibarengi dengan pikiran yang jernih. Olah batin akan memunculkan budi yaitu pikiran yang jernih yang memberikan aba-aba kepada cipta dan berpengaruh kepada rasa ( Suryo Negoro , 2001). Panca indra jangan sampai bertentangan dengan aturan budi pekerti.
Pengertian pendidikan budi pekerti adalah usaha sadar yang dilakukan dalam rangka menanamkan atau menginternalisasikan nilai-nilai moral ke dalam sikap dan prilaku peserta didik agar memiliki sikap dan perilaku yang luhur (berakhlakul karimah) dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam berinteraksi dengan Tuhan, dengan sesama manusia maupun dengan alam/lingkungan (Haidar, 2004)
Abdul Fattah Hamid dalam bukunya Pengendalian diri dan Dambaan Spiritual menyebutkan adanya tingkatan kepribadian yang akan dilalui manusia untuk menuju pada kesempurnaan hidup. Tingkatan kepribadian yang masih dipenuhi hawa nafsu atau dipenuhi oleh roh raewani,nabati dan haewani adalah tingkatan kepribadian 
An-Nafs Ammarah dan An Nafs al Lawwamah.
            Pada tingkatan An Nafs Al Amarah manusia condong pada hasrat dan kenikmatan dunia. Minatnya tertuju pada pemeliharaan tubuh, kenikmatan selera jasamani dan pemanjaan ego.
            Tingkatan An Nafs Al Lawwamah di mana manusia sudah mulai bisa melawan nafsunya walaupun masih suka terpengaruh hasrat fisik. Tujuan hidup yang tetap belum bisa diraih. Masih terombang ambing oleh perubahan-perubahan yang ada.
            Tingkatan An-Nafs al Mulhima, manusia sudah menyadari cahaya sejati tiada lain adalah petunjuk Tuhan. Dia selalu introspeksi untuk menjadi hamba yang lurus.
            Tingkatan An-Nafs al Qana’ah , Manusia telah mantap ,telah cukup apa yang telah dimilikinya dan tidak tertarik mengambil milik orang lain.
            Tingkatan An-Nafs al Mutmainah, manusia telah menemukan kebahagiaan dalam mencintai Tuhan. Dia telah mencapai kualitas terbaik dalam ketenangan dan keheningan.
            Tingkatan An-Nafs al Rodiyah, manusia jiwanya telah puas dan tenang, dia merasa bahagia karena Tuhan meridhoinya.
            Tingkatan An-Nafs al Kamilah, manusia moralnya telah sempurna yang telah bersih dari semua hasrat kejasmanian sebagai hasil kesadaran murni akan pengetahuan yang sempurna tentang Tuhan.
            Kewajiban moral manusia adalah mencapai harmoni dengan kesatuan terakhir sebagai hasil kesadaran murni yaitu manusia menyerahkan dirinya selaku hamba Tuhannya ( Sarjono, l992 :24-25). Seorang pendidik hendaknya selalu mengarahkan segenap kemampuan untuk mendidik diri pribadi dan membentuk siswanya sesuai kemampuan yang diberikan Tuhan untuk kebaikan sesama  makluk. Seperti falsafah Jawa yang mengatakan GURU adalah seorang yang bisa digugu dan ditiru. 

B.  Mundurnya Budi Pekerti

            Dalam konteks budi pekerti, sepertinya berbagai kalangan telah berkata sepakat untuk mengatakan bahwa perilaku manusia sekarang cenderung menurun atau perilaku tidak sesuai dengan harapan pranata moral ketimuran.
Kita hendaknya melihat pada obyek yang kita kenali yaitu anak-anak didik kita. Terjadinya kemunduran perilaku Budi Pekerti ada beberapa faktor yang membentuknya, antara lain :
1.      Faktor intern, faktor yang berasal diri sendiri. Seseorang punya sifat, watak bawaan yang berbeda-beda. Ada yang berwatak cenderung baik maupun yang kurang baik. Yang  bersifat dan watak bawaannya kurang baik seharusnya bergumul dengan hal-hal yang positif sehingga terjadi eliminir sifat tidak baiknya. Sering mawas diri dan berpikiran positif.
2.      Faktor ekstern, faktor yang berasal dari luar diri individu. Orang tua, guru, teman dan lingkungan juga banyak andil dalam mempengaruhi pribadi seseorang. Maka seseorang harus bisa menyaring dari faktor tersebut. Yang baik diteladani dan yang kurang baik tidak usah ditiru.
Pengembangan nilai – nilai moral yang baik dan beradab harus selalu diterapkan di setiap lini kehidupan. Para stakeholder harus melakukan gerakan cepat nan bijaksana untuk menyikapinya. Jangan takut untuk hal yang baik. Tegakkanlah amar ma’ruf nahi munkar. Kita sebagai pendidik haruslah menjadi pembawa panji-panji positif untuk kebaikan anak didik kita.
B. Upaya Peningkatan Kualitas Budi Pekerti.
            Sering kali kita dihadapkan pada permasalahan yang ditimbulkan dalam pembelajaran atau setelah pembelajaran. Kodrat manusiawi yang terkandung disetiap insan yaitu nafsu-nafsu destruktif seharusnya dieliminir sehingga terwujudlah tatanan moral yang diagungkan. Solusi dalam menjawab setiap permasalahn budi pekerti harus selalu ada jawabannya. Upaya peningkatan kualitas budi pekerti yang pertama dan utama adalah subyek pembentuk budi pekerti. Guru yang bisa bersinonim pemimpin haruslah dibekali konseptual yang bisa untuk dipedomani.
            Sebagai pedoman bagi pemimpin kita bangsa Indonesia oleh para pemikir telah mengkonsep kepemimpinan ala Pancasila yang berkarakteristik sebagai berikut :
  1. Berke-Tuhan-an Yang Maha Esa, pemimpin dituntut mutlak berkeyakinan beragama, betakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
  2. Hing Ngarso sung Tulada, di depan member teladan.
  3. Hing Madya mangun karsa, di tengah memberi dorongan.
  4. Tut Wuri Handayani,di belakang memberi kekuatan
  5. Waspada purba wasesa, pemimpin berwibawa, berkelebihan dan berkemampuan memprediksi masa depan.
6.      Ambeg parama arta, pemimpin bersifat pemurah ,dermawan, adil dan tidak sewenang-wenang.
7.      Prasaja, sederhana.
8.      Satya, harus loyal
9.      Hemat, tidak boros.
10.  Terbuka, harus komunikatif.
11.  Legawa, rela, ridho dan ikhlas.
12.  Ksatria, berbudi luhur dan mampu mengendalikan diri.
Konsep tersebut harus bisa diwujudkan dalam tatanan pembelajaran oleh pendidik. Dalam pembentukan masyarakat madani dibutuhkan pemimpin yang berperilaku rasuli. Perilaku Rasuli mempunyai sifat sidiq (benar), amanah (dapat dipercaya), tabliq (dapat menyampaikan), dan fatonah (cerdas). Serta dibekali kemampuan irsyatul qolbi, tarbiyatul Ummah, dan uswatun hasanah.
Upaya selanjutnya adalah pemberdayaan perilaku positif serta kejiwaannya siswa dalam setiap kesempatan dan wahana. Wahana yang paling tepat adalah proses pendidikan di sekolah, karena guru punya wewenang otoritas untuk mengaktualisasikan kemampuan yang ada dengan rambu-rambu sekolah yang berlaku. Guru bisa menerapakan sanksi bagi siswa bila terdapat pelanggaran tatanan sekolah (tata tertib ).
            Dan yang tidak kalah pentingnya terdapat mata pelajaran Budi Pekerti yang mandiri. Dengan perencanaan yang matang dan pembelajaran yang baik ditunjang sarana dan prasarana yang memadai diharapkan output akan sesuai dengan tujuan. Pemerintah memang tidak boleh tinggal diam dalam hal ini bila ingin warga negaranya berbudi luhur untuk mengimbangi kemajuan ilmu dan teknologi yang semakin dahsyat. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi bisa cenderung negatif bila pemakainya berbasis hal yang berbau negatif. Kita harus menjadi promotor penyeimbang supaya dunia semakin kondusif.
D. Kendala Aplikasi
            Dalam setiap jenjang kehidupan terjadi proses pembudayaan. Proses pembudayaan terjadi dalam bentuk pewarisan tradisi budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya.  Pewarisan tradisi budaya disebut proses enkulturasi, sedangkan proses adopsi tradisi budaya  dikenal sebagai proses akulturasi. Kedua proses tersebut terjadi dalam suatu komunitas kehidupan dalam pembentukan budaya.
            Proses enkulturasi biasanya terjadi secara informal dalam keluarga. Proses melalui orang tua kepada anak-anaknya. Sedangkan proses alkulturasi terjadi secara formal melalui pendidikan. Banyak orang berpendapat bahwa budayanya dipandang sebagai suatu yang masih rendah tingkatannya.  Di lingkup sekolah sering terjadi pembudayaan yang sering bertentangan dengan tradisi budaya sendiri. Sehingga dampak pendidikan formal  adalah siswa atau lulusan yang sama sekali tidak dapat menghargai bentuk pengetahuan dan kekayaan tradisional dalam komunitas budayanya ( Abuso,  1998 ).
            Kendala aplikasi proses pembudayaan budi pekerti pada komunitas menengah ke atas terjadi benturan. Salah satu contoh bagi keluarga berpengalaman walau dikomunitas Jawa sering orang tua ( senior ) menanamkan budaya komunikasi dengan bahasa Indonesia. Bahkan dikota-kota besar di Jawa ini sudah menjadi tradisi yang membudaya. Bahasa Indonesia sebagai komunikasi pasar walau tidak diajarkan (dibiasakan), secara alamiah anak akan bisa dan terbiasa sendiri. Ini ditunjang seringnya anak melihat televisi dan anak bila di sekolah yang memang harus berkomunikasi dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi dalam pembelajaran.
            Penekanan bahasa di lingkup komunitas Jawa sebaiknya berbahasa Jawa halus ( kromo inggil ), karena akan mendidik budi pekerti yang baik. Sebagai ilustrasi saja tidak ada orang bertengkar berkomunikasi dengan krama inggil. Ini efek samping yang bisa kita petik dari pembudayaan enkulturasi. Tapi kendala yang kita hadapi sering berbenturan dengan berbagai kepentingan dan tendensi.
            Di jalur pendidikan formal mata pelajaran budi pekerti memang tidak ada sama sekali. Budi pekerti mendompleng pada mata pelajaran lain seperti PKn, Bahasa Jawa, dengan alokasi waktu yang sangat sedikit. Mata pelajaran pendidikan budi pekerti memang idealnya berdiri sendiri yang dilakukan dengan cara bijaksana disiplin tinggi maka yang terjadi adalah pribadi-pribadi siswa yang baik dan tidak terjadi penyempitan pembuluh budi pekerti.
            Kendala berikutnya yang banyak ikut andil di dalamnya adalah terjadinya pendangkalan pengetahuan dan aplikasi budi pekerti dari jiwa pendidik ( guru ) walau dalam skala kecil. Sebagai contoh kecil guru sekarang kurang bisa bisa menguasai bahasa Jawa Krama . Maka dalam pembelajarannya sering terjadi kurang percaya diri bila menemui pembelajaran krama inggil. Ki Hadjar Dewantara pun menandaskan, “Alam hidup manusia adalah alam hidup berbulatan. Kita hidup dalam alam-alam khusus yang saling berhubungan dan mempengaruhi. Alam khusus tersebut adalah alam diri, alam bangsa, dan alam kemanusiaan.” (Perjuangan dan Ajaran Hidup Ki Hadjar Dewantara, 2004)

E. Teknik dan Upaya Peningkatan Pendidikan Budi Pekerti

            Sebagamana yang tercantum dalam penjelasan di depan semuanya mengcu bagaimana peningkatan dalam konsep dan aplikasi budi pekerti.  Konsep akan berhasil bila dibarengi dengan perencanaan yang matang dan terarah. Sedangkan dalam aplikasi pendoktrinan budi pekerti perlu kebijakan-kebijakan yang tidak saling berbenturan dengan berbagai situasi dan kondisi. Ini perlu disadari dan didasari oleh para pelaku pendidikan budi pekerti.
            Untuk mencapai hasil yang optimal perlu kiat-kiat atau teknik yang tepat guna dan sasaran dimana tidak menimbulkan problematika. Teknik yang perlu diadakan antara lain :
1.      Kenali akar permasalahan .
2.      Susunlah langkah kebijakan yang proposional.
3.      Ajaklah beberapa teman untuk berdiskusi tentang kebijakkan tersebut.
4.      Terapkan hasil diskusi dengan penuh kebijakan.
5.      Evaluasi  dari aplikasi .
6.      Refleksi dan tindak lanjut untuk langkah kondusif ke depan.
Sedangkan upaya yang harus ditempuh untuk pendoktrinan Pendidikan Budi Pekerti antara lain :
1.      Melalui lembaga untuk penyampaian pentingnya pendidikkan budi pekerti untuk ditindak lanjuti oleh lembaga diatasnya .
2.      Seminar , lokakarya , penataran dan pelatihan tentang budi pekerti.
3.      Penerapan pendidikan budi pekerti melalui mata pelajaran khusus Budi Pekerti dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi.
4.      Sosialisasi tentang budi pekerti kepada semua khalayak baik dilingkungan pemerintahan atau di masyarakat biasa.
5.      Pemberdayaan masyarakat untuk ikut berkecimpung dalam pendidikkan budi pekerti.
Berkaitan dengan implementasi strategi pendidikan budi pekerti dalam kegiatan sehari-hari, secara teknis dapat dilakukan melalui:
1.      Keteladanan
Dalam setiap kegiatan, guru, kepala sekolah, staf administrasi, bahkan juga pengawas harus dapat menjadi teladan atau model yang baik bagi murid-murid di sekolah. Bila guru ingin mengajarkan kesabaran kepada siswanya, maka terlebih dahulu guru harus mampu menjadi sosok yang sabar dihadapan murid-muridnya. Bila hendak mengajarkan tentang kedisiplinan kepada murid-muridnya, maka guru tersebut harus mampu memberikan teladan terlebih dahulu sebagai guru yang disiplin dalam menjalankan tugas pekerjaannya.
2.      Kegiatan spontan.
Kegiatan spontan yaitu kegiatan yang dilaksanakan secara spontan pada saat itu juga. Kegiatan ini biasanya dilakukan pada saat guru mengetahui sikap/tingkah laku peserta didik yang kurang baik, seperti berkelahi dengan temannya. Maka guru secara spontan harus menanamkan nilai-nilai moral dengan bijaksana. Misalkan bila bertengkar harus saling memaafkan.
3.       Teguran.
Guru perlu menegur peserta didik yang melakukan perilaku buruk dan mengingatkannya agar mengamalkan nilai-nilai yang baik sehingga guru dapat membantu mengubah tingkah laku mereka.
4.      Pengkondisian lingkungan.
Suasana sekolah dikondisikan sedemikian rupa melalui penyediaan sarana fisik yang dapat menunjang tercapainya pendidikan budi pekerti. Contohnya ialah dengan penyediaan tempat sampah, jam dinding, slogan-slogan mengenai budi pekerti yang mudah dibaca oleh peserta didik, dan aturan/tata tertib sekolah yang ditempelkan pada tempat yang strategis sehingga mudah dibaca oleh setiap peserta didik.
5.       Kegiatan rutin.
Kegiatan rutinitas merupakan kegiatan yang dilakukan peserta didik secara terus menerus dan konsisten setiap saat. Contoh kegiatan ini adalah berbaris masuk ruang kelas untuk mengajarkan budaya antri, berdoa sebelum dan sesudah kegiatan, mengucapkan salam bila bertemu dengan orang lain, dan membersihkan ruang kelas tempat belajar.
Dengan diketahuinya teknik dan upaya tersebut diharapkan kehidupan di dunia ini dipenuhi oleh perilaku yang mengagungkan budi pekerti yang baik. Kehidupannya akan menimbulkan energi positif yang bisa mendayagunakan diri pribadi dan orang lain yang pada akhirnya semua kehidupan akan penuh berkah..  Maka supaya hidup ini penuh berkah kembali, manusianya harus : segeralah bertaubat; tetaplah bersyukur; jauhi dosa; bersahabat dengan alam, jangan pernah merusak; teruslah berusaha dan berdoa ( Majalah Aham 1426 :10-12 ).
*) Kastowo, S.Pd.SD, M.Pd  Pengawas TK/SD Kec. Winong

DAFTAR PUSTAKA

Budiwati, Yulia, dkk, 2003. Ilmu Budaya Dasar, Jakarta : Pusat Penerbitan Universitas terbuka.
Kaligis, J.R.E, 2005. Pendidikan Lingkungan Hidup, Jakarta : Universitas Terbuka.
Majalah Aham, 1426 . Agar Hidup ini Kembali Barokah, Kediri : Qolamuna.
Mikarsa, Hera Lestari, 2004. Pendidikan Anak di SD , Jakarta : Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.
http://belajarpsikologi.com/pendidikan-budi-pekerti
Web  : jatilawang-tulisan.blogspot.com
            pakdetowo.blogspot.com
FB     : Kastowo Jatilawang




Tidak ada komentar: