Peletak
Dasar Sosiologi
Keyakinan dalam pengembangan yang dinamakannya positifisme semakin besar volumenya, positifisme sendiri adalah faham filsafat, yang cenderung untuk membatasi pengetahuan benar manusia kepada hal-hal yang dapat diperoleh dnegan memakai metoda ilmu pengetahuan. Disini Comte berusaha pengembangan kehidupan manusia denganmenciptakan sejarah baru, merubah pemikiran-pemikiran yang sudah membudaya, tumbuh dan berkembang pada masa sebelum Comte hadir. Comte mencoba dengan keahlian berpikirnya untuk mendekonstruksi pemikiran yang sifatnya abstrak (teologis) meupun pemikirannya yang pada penjelasan-penjelasannya spekulatif.
Comte bukan hanya melakukan penelitian-penelitian atas penjelasan-penjelasan yang perlu dirombak karena tidak sesuai dengan kaidah keilmiahan Comte tetapi layaknya filsuf lainnya, Comte sellu melakukan kontemplasi juga guna mendapatkan argumentasi-argumentasi yang menurutnya ilmiah. Dan, dari sini Comte mulai mengeluarkan agitasinya tentangilmu pengetahuan positive pada saat berdiskusi dengan kaum intelektual lainnya sekaligus menguji coba argumentasi atas mazhab yang sedang dikumandangkannya dengan gencar.
Sekilas Tentang Emile Durkheim
1.
Ibnu
Khaldun
IBNU
KHALDUN (1332-1406 )
Pendidikan Ibnu Khaldun. Seorang sarjana sosiologi
dari Italia, Gumplowiez melalui penelitiannya yang cukup panjang, berpendapat,
”Kami ingin membuktikan bahwa sebelum Auguste Comte (1798-1857M) dan Giovani
Vico (1668-1744M) telah datang seorang muslim yang tunduk pada ajaran agamanya.
Dia telah mempelajari gejala-gejala sosial dengan akalnya yang cemerlang. Apa
yang ditulisnya itulah yang kini disebut sosiologi. (Gumplowiez, Ibnu Khaldun,
Arabischersoziologe des 14 jahrundert. Dalam ‘Sociologigsche
Essays:PP.201-202).
Sejarawan dan Bapak Sosiologi Islam ini dari
Tunisia. Ia keturunan Yaman dengan nama lengkapnya Waliuddin bin Muhammad bin
Abi Bakar Muhammad bin Al Hasn. Namun ia lebih dikenal dengan nama Ibnu
Khaldun. Keluarganya berasal dari Hadramaut (kini Yaman) dan silsilahnya sampai
pada seorang sahabat Nabi Muhammad Nabi Muhammad SAW. bernama Wail bin Hujr
dari kabilah Kindah, salah seorang cucu Wail, Khalid bin Usman, memasuki daerah
Andalusia bersama orang-orang arab penakluk pada tahun ke-3 H(9 M). Anak cucu
Khalid bin Usman membentuk satu keluarga besar bernama Bani Khaldun, dari bani
inilah asal nama Ibnu Khaldun.
Ia lahir di Tunisia pada tanggal 27 Mei 1332 M (1 Ramadhan 732 H), tetapi sebenarnya ia dari Seville,Spanyol. Sejak kecil, ia sudah hafal Al-Qur’an. Di tanah kelahirannya itu ia mempelajari syari’at (tafsir, hadits, tauhid, fiqih) fisika dan matematika. Saat itu Tunisia telah menjadi pusat perkembangan ilmu di Afrika Utara.
Sejak usia muda,ia sudah mengikuti kegiatan politik praktis. Situasi politik yang tidak menentu di Tunisia, menyebabkan Ibnu Khaldun melakukan pengembaraan dari Maroko sampai Spanyol. Pada tahun 1375, beliau pindah ke Granada, Spanyol. Karena keadaan politik Granada tidak stabil ia menetap di Qal’at Ibnu Salamah di daerah Tilmisan,ibukota Maghrib Tengah (Aljazair) dan meninggalkan dunia politik praktis.
Tahun 746 H, studinya terhenti akibat terjangkitnya penyakit Pes di sebagian besar belahan dunia bagian timur dan bagian barat. Banyak korban akibat dari penyakit yang sedang melanda itu. Karena situasinya berubah, akhinya Ibnu Khaldun mencari kesibukan kerja serta mengikuti jejak kakeknya untuk terjun ke dunia politik. Berkat komunikasinya dengan tokoh-tokoh dan ulama terkemuka setempat telah banyak membantunya mencapai jabatan tinggi.B. Pemikiran Ibnu KhaldunIbnu Khaldun mengemukakan pemikiran baru yang menyatakan bahwa sistem sosial manusia dapat berubah seiring dengan kemampuan pola berpikir mereka, keadaan muka bumi di sekitar mereka, pengaruh iklim, makanan, emosi serta jiwa manusia itu sendiri.
Beliau juga berpendapat bahwa pola pemikiran masyarakat berkembang secara bertahap yang dimulai dari tahap primitif, pemilikan, peradaban, kemakmuran dan kemunduran (keterpurukan). Pemikiran Ibnu Khaldun dikagumi oleh tokoh sejarah keturunan Yahudi, Prof. Emeritus, Dr. Bernerd Lewis yang mengukuhkan tokoh ilmuwan itu sebagai ahli sejarah arab yang hebat pada abad pertengahan.
Ia lahir di Tunisia pada tanggal 27 Mei 1332 M (1 Ramadhan 732 H), tetapi sebenarnya ia dari Seville,Spanyol. Sejak kecil, ia sudah hafal Al-Qur’an. Di tanah kelahirannya itu ia mempelajari syari’at (tafsir, hadits, tauhid, fiqih) fisika dan matematika. Saat itu Tunisia telah menjadi pusat perkembangan ilmu di Afrika Utara.
Sejak usia muda,ia sudah mengikuti kegiatan politik praktis. Situasi politik yang tidak menentu di Tunisia, menyebabkan Ibnu Khaldun melakukan pengembaraan dari Maroko sampai Spanyol. Pada tahun 1375, beliau pindah ke Granada, Spanyol. Karena keadaan politik Granada tidak stabil ia menetap di Qal’at Ibnu Salamah di daerah Tilmisan,ibukota Maghrib Tengah (Aljazair) dan meninggalkan dunia politik praktis.
Tahun 746 H, studinya terhenti akibat terjangkitnya penyakit Pes di sebagian besar belahan dunia bagian timur dan bagian barat. Banyak korban akibat dari penyakit yang sedang melanda itu. Karena situasinya berubah, akhinya Ibnu Khaldun mencari kesibukan kerja serta mengikuti jejak kakeknya untuk terjun ke dunia politik. Berkat komunikasinya dengan tokoh-tokoh dan ulama terkemuka setempat telah banyak membantunya mencapai jabatan tinggi.B. Pemikiran Ibnu KhaldunIbnu Khaldun mengemukakan pemikiran baru yang menyatakan bahwa sistem sosial manusia dapat berubah seiring dengan kemampuan pola berpikir mereka, keadaan muka bumi di sekitar mereka, pengaruh iklim, makanan, emosi serta jiwa manusia itu sendiri.
Beliau juga berpendapat bahwa pola pemikiran masyarakat berkembang secara bertahap yang dimulai dari tahap primitif, pemilikan, peradaban, kemakmuran dan kemunduran (keterpurukan). Pemikiran Ibnu Khaldun dikagumi oleh tokoh sejarah keturunan Yahudi, Prof. Emeritus, Dr. Bernerd Lewis yang mengukuhkan tokoh ilmuwan itu sebagai ahli sejarah arab yang hebat pada abad pertengahan.
Felo Amat Utama Akademik Institut Antarbangsa
Pemikiran dan Ketamadunan (ISTAC), University Islam Antarbangsa Malaysia
(UIAM), Muhammad Uthman El-Muhammady juga melihat pendekatan (pemikiran) Ibnu
Khaldun secara mendunia.
Karya Ibnu Khaldun yang menakjubkan (Mukaddimah) membuat beliau mendapat gelar Prolegomena atau pengenalan pada berbagai ilmu perkembangan kehidupan manusia di kalangan ilmuwan barat. Dari situ, Ibnu Khaldun mengutarakan pandangannya untuk memperbaiki kesalahan dalam kehidupan, menjadikan karya beliau seperti ensiklopedia yang mengisahkan berbagai perkara dalam kehidupan sosial manusia.
Kajian yang dilakukan Ibnu Khaldun tidak hanya mencakup kisah kehidupan masyarakat saat itu, tetapi juga merangkum sejarah umat terdahulu. Selain sebagai ilmuwan dalam bidang ilmu sosial, Ibnu Khaldun mampu menjalankan tugas dengan baik saat dilantik sebagai kadi (wali agama) ketika menetap di Mesir. Kebijaksanaan beliau mendorong Sultan Burquq yaitu Sultan Mesir pada waktu itu, memberi gelar Waliuddin kepada Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun juga memajukan konsep ekonomi, perdagangan, kebebasan, beliau terkenal karena hasil kerjanya dalam bidang sosiologi, astronomi, numerologi, kimia serta sejarah. Beliau berpendapat bahwa tugas kerajaan hanya mempertahankan rakyatnya dari kejahatan, melindungi harta rakyat, memberantas penipuan dalam perdagangan dan mengurus pemasukan kas negara (upeti/ pajak).
Pemerintah juga melaksanakan kepemimpinan politik yang bijaksana dengan keterpaduan sosial dan kekuasaan tanpa adanya paksaan.
Dari segi ekonomi, Ibnu Khaldun memajukan teori nilai dan keterkaitan hubungan dengan tenaga kerja, mengenalkan pembagian kerja, membantu pemasaran terbuka,menyadari kesan dinamik permintaan dan modal penjualan serta keuntungan.
Wacana atau pemikiran Ibnu Khaldun juga diterapkan dalam kehidupan masyarakaat modern yang ingin mengimbangi pembangunan fisik dan spiritual. Secara teori,ilmu itu dikaitkan dengan persoalan manusia dalam masyarakat dan para ahli sosiologi berharap ilmu itu dapat menjalin keterpaduan serta membentuk pembenahan krisis moral yang dihadapi masyarakat saat ini.
Karya Ibnu Khaldun yang menakjubkan (Mukaddimah) membuat beliau mendapat gelar Prolegomena atau pengenalan pada berbagai ilmu perkembangan kehidupan manusia di kalangan ilmuwan barat. Dari situ, Ibnu Khaldun mengutarakan pandangannya untuk memperbaiki kesalahan dalam kehidupan, menjadikan karya beliau seperti ensiklopedia yang mengisahkan berbagai perkara dalam kehidupan sosial manusia.
Kajian yang dilakukan Ibnu Khaldun tidak hanya mencakup kisah kehidupan masyarakat saat itu, tetapi juga merangkum sejarah umat terdahulu. Selain sebagai ilmuwan dalam bidang ilmu sosial, Ibnu Khaldun mampu menjalankan tugas dengan baik saat dilantik sebagai kadi (wali agama) ketika menetap di Mesir. Kebijaksanaan beliau mendorong Sultan Burquq yaitu Sultan Mesir pada waktu itu, memberi gelar Waliuddin kepada Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun juga memajukan konsep ekonomi, perdagangan, kebebasan, beliau terkenal karena hasil kerjanya dalam bidang sosiologi, astronomi, numerologi, kimia serta sejarah. Beliau berpendapat bahwa tugas kerajaan hanya mempertahankan rakyatnya dari kejahatan, melindungi harta rakyat, memberantas penipuan dalam perdagangan dan mengurus pemasukan kas negara (upeti/ pajak).
Pemerintah juga melaksanakan kepemimpinan politik yang bijaksana dengan keterpaduan sosial dan kekuasaan tanpa adanya paksaan.
Dari segi ekonomi, Ibnu Khaldun memajukan teori nilai dan keterkaitan hubungan dengan tenaga kerja, mengenalkan pembagian kerja, membantu pemasaran terbuka,menyadari kesan dinamik permintaan dan modal penjualan serta keuntungan.
Wacana atau pemikiran Ibnu Khaldun juga diterapkan dalam kehidupan masyarakaat modern yang ingin mengimbangi pembangunan fisik dan spiritual. Secara teori,ilmu itu dikaitkan dengan persoalan manusia dalam masyarakat dan para ahli sosiologi berharap ilmu itu dapat menjalin keterpaduan serta membentuk pembenahan krisis moral yang dihadapi masyarakat saat ini.
Walaupun istilah sosiologi ditemukan oleh tokoh
sosiologi kelahiran Perancis abad ke 19 yaitu Auguste Comte, tetapi kajian
mengenai kehidupan sosial manusia sudah diurai oleh Ibnu Khaldun dalam kitabnya
Mukaddimah, 500 tahun lebih awal, pada usianya 36 tahun.C. Karya-karya Ibnu
KhaldunSebagai sejarawan dan filsuf, ia memusatkan perhatiannya pada kegiatan
menulis dan mengajar. Saat itulah karya besar lahir dari tangannya, yaitu :
1. Sebuah kitab Al-Ibrar wa Diwan Al-Mubtada’ wa
Al-Khabar fi Ayyamal Al-‘Arab wa Al-Ajam wa al-Barbar atau yang sering disebut
Al-Ibrar (Sejarah Umum), terbitan Kairo tahun 1284. Kitab ini terdiri atas 7
jilid yang berisi tentang kajian sejarah yang didahului oleh Muqaddimah (jilid
I), yang berisi tentang pembahasan masalah-masalah sosial manusia.
2. Muqaddimah (yang sebenarnya merupakan pembuka
kitab Al-Ibrar) popularitasnya melebihi kitab itu sendiri. Muqaddimah membuka
jalan menuju pembahasan ilmu-ilmu sosial. Menurut pendapatnya, politik tidak
bisa dipisahkan dari kebudayaan, dan masyarakat dibedakan atas masyarakat desa
(hadarah) dan kota (badawah). Oleh karena itu Ibnu Khaldun dianggap sebagai
peletak dasar ilmu-ilmu sosial dan politik Islam.
3. Sejumlah kitab yang bernilai tinggi diantaranya
At-Ta’rif bi Ibn Khaldun (autobiografi, catatan dan kitab sejarahnya) dan kitab
teologi yaitu Lubabal Al-Muhassal Afkar Usul Ad-Din (ringkasan dari kitab
Muhassal Afkar Al-Muttaqaddimin wa Al-Muta’akhirin karya Imam Fakhrudi Ar-Razi
dan memuat pendapatnya tentang masalah teologi).D. Pengertian Sosiologi Dalam
Muqaddimah ini pula Ibnu Khaldun menampakkan diri sebagai ahli sosiologi dan
sejarah. Menurutnya sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang solidaritas
sosial. Teori pokoknya dalam sosiologi umum dan politik adalah konsep ashabiyah
(solidaritas sosial). Asal-usul solidaritas sosial adalah ikatan darah yang
disertai kedekatan hidup bersama. Hidup bersama juga dapat mewujudkan
solidaritas yang sama kuat dengan ikatan darah. Menurutnya, solidaritas sosial
sangat kuat terlihat dalam masyarakat pengembara, karena corak kehidupan mereka
yang unik dan kebutuhan mereka untuk saling membantu. Relevansi teori ini
misalnya dapat ditemukan pada teori-teori tentang konsiliasi kelompok-kelompok
sosial dalam menyelesaikan konflik tantangan tertentu. Relevansi teori Khaldun,
misalnya juga dapat ditemukan dalam teori Ernest Renan tentang kelahiran
bangsa. Tantangan yang dihadapi
masyarakat pengembara dalam teori Khaldun tampaknya,meski tidak semua, paralel
dengan “kesamaan sejarah” embrio bangsa dalam teori Ernest Renan. Kebutuhan
untuk saling membantu mengatasi tantangan ini juga me miliki relevansi dalam
kajian psikologi sosial terutama berkenaan dengan kebutuhan untuk mengikatkan
diri dengan borang lain atau kelompok sosial yang lazim disebut afiliasi
2.
Auguste
Comte
Auguste
Comte yang lahir di Montpililer, Perancis pada 19 Januari 1798, adalah anak
seseorang bangsawan yang berasal dari keluarga berdarah Katolik. Namun, di
perjalanan hidupnya Comte tidak menunjukkan loyalitasnya terhadap
kebangsawanannya juga kepada Katoliknya dan hal tersebut merupakan pengaruh suasana
pergolakan social, intelektual dan politik pada masanya.
Comte sebagai mahasiswa di Ecole Pohtechnique tidak
menghabiskan masa studinya setelah tahu mahasiswa yang memberikan dukungannya
kepasa Napolen dipecat, Comte sendiri merupakan salah satu mahasiswa yang keras
kepala dan suka memberontak. Hal tersebut menunjukkan bahwa Comte memiliki
prinsip dalam menjalani kehidupannya yang pada akhirnya Comte menjadi seorang
professional dan meninggalkan dunia akademisnya memberikan les ataupun
bimbingan singkat pada lembaga pendidikan kecil maupun yang bentuknya privat.
Hal-hal yang sebenarnya menarik perhatiannya pun dasarnya bukanlah yang berbau matematika tetapi masalah-masalah social dan kemanusiaan. Dan, pada saat minatnya mulai berkembang tawaran kerjasama dari Saint Simon yang ingin menjadikan Comte sekretaris Simon sekaligus pembimbing karya awal Comte, Comte tidak menolaknya.
Tiada gading yang retak, istilah yang menyempal dalam hubungan yang beliau-beliau jalin. Akhirnya ada perpecahan juga antara kedua intelektual ini perihal karya awal Comte karena aroganis intelektual dari keduanya.
Hal-hal yang sebenarnya menarik perhatiannya pun dasarnya bukanlah yang berbau matematika tetapi masalah-masalah social dan kemanusiaan. Dan, pada saat minatnya mulai berkembang tawaran kerjasama dari Saint Simon yang ingin menjadikan Comte sekretaris Simon sekaligus pembimbing karya awal Comte, Comte tidak menolaknya.
Tiada gading yang retak, istilah yang menyempal dalam hubungan yang beliau-beliau jalin. Akhirnya ada perpecahan juga antara kedua intelektual ini perihal karya awal Comte karena aroganis intelektual dari keduanya.
Sejak saat itulah Comte mulai menjalani kehidupan
intelektualnya sendiri, menjadi seorang professional dan Comte dalam hal yang
satu ini menurut pandangan Coser menjadi seorang intelektual yang
termarjinalkan di kalangan intelektual Perancis pada zamannya.
Kehidupan terus bergulir Comte mulai melalui
kehidupannya dengan menjadi dosen penguji,pembimbing dan mengajar mahasiswa
secara privat. Walaupun begitu, penghasilannya tetap tidak mencukupi
kebutuhannya dan mengenai karya awal yang dikerjakannya mandek. Mengalami
fluktuasi dalam penyelesaiannya dikarenakan intensitas Comte dalam
pengerjaannya berkurang drastis.
Comte dalam kegelisahannya yang baru mencapai titik
rawan makin merasa tertekan dan hal tersebut menjadikan psikologisnya
terganggu, dengan sifat dasarnya adalah seorang pemberontak akibatnya Comte
mengalami gejala paranoid yang hebat. Keadaan itu menambah mengembangnya sikap
pemberang yang telah ada, tidak jarang pula perdebatan yang dimulai Comte
mengenai apapun diakhiri dengan perkelahian.
Kegilaan atau kerajingan yang diderita Comte membuat Comte menjadi nekat dan sempat menceburkan dirinya ke sungai. Datanglah penyelamat kehidupan Comte yang bernama Carolin Massin, seorang pekerja seks yang sempat dinikahi oleh Comte di tahun 1825. carolin dengan tanpa pamrih merawat Comte seperti bayi, bukan hanya terbebani secara material saja tetapi juga beban emosional dalam merawat Comte karena tidak ada perubahan perlakuan Comte untuk Caroline dan hal mengakibatkan Caroline memutuskan pergi meninggalkan Comte pada tahun 1842. comte kembali dalam kegialaannya lagi dan sengsara.
Kegilaan atau kerajingan yang diderita Comte membuat Comte menjadi nekat dan sempat menceburkan dirinya ke sungai. Datanglah penyelamat kehidupan Comte yang bernama Carolin Massin, seorang pekerja seks yang sempat dinikahi oleh Comte di tahun 1825. carolin dengan tanpa pamrih merawat Comte seperti bayi, bukan hanya terbebani secara material saja tetapi juga beban emosional dalam merawat Comte karena tidak ada perubahan perlakuan Comte untuk Caroline dan hal mengakibatkan Caroline memutuskan pergi meninggalkan Comte pada tahun 1842. comte kembali dalam kegialaannya lagi dan sengsara.
Pada tahun 1844 Comte bertemu seorang perempuan yang
bernama Clotilde de Vaux. Walaupun, Comte sangat mencintainya hingga akhir
hayat Clotilde tidak pernah menerima cinta Comte karena sudah memiliki suami,
walau suaminya jauh dari Clotilde de Vaux meninggal pada tahun 1846 karena
penyakit yang menyebabkan tipis harapan sembuhnya dan Clotilde masih terpisah
dengan suaminya.
Pada
tahun-tahun terakhir masa hidupnya, Comte mengalami gangguan kejiwaan. Comte
wafat di Paris pada tanggal 5 September 1857 dan dimakamkan di Cimetiere du
Pere Lachaise.
Pandangan Terhadap Sosiologi
Auguste Comte, melihat perubahan-perubahan yang
disebabkan adanya ancaman terhadap tatanan social, menganggap bahwa perubahan
tersebut tidak saja bersifat positif seperti berkembangnya demokratisasi dalam
masyarakat, tetapi juga berdampak negative. Salah satu dampak negative tersebut
adalah terjadinya konflik antarkelas dalam masyarakat. Menurut Comte
konflik-konflik tersebut terjadi karena hilangnya norma atau pegangan
(normless) bagi masyarakat dalam bertindak. Comte berkaca dari apa yang terjadi
dalam masyarakat Perancis ketika itu (abad ke-19). Setelah pecahnya Revolusi
Perancis, masyarakat Perancis dilanda konflik antarkelas. Comte melihat hal itu
terjadi karena masyarakat tidak lagi mengetahui bagaimana mengatasi perubahan
akibat revolusi dan hukum-hukum apa saja yang dapat dipakai untuk mengatur
tatanan social masyarakat.
Oleh karena itu, Comte menyarankan agar semua penelitian tentang masyarakat ditingkatkan menjadi suatu ilmu yang berdiri sendiri. Comte membayangkan suatu penemuan hukum-hukum yang dapat mengatur gejala-gejala social. Namun, Comte belum berhasil mengembangkan hukum-hukum social tersebut menjadi sebuah ilmu. Ia hanya memberi istilah bagi ilmu yang akan lahir itu dengan istilah “Sosiologi”. Sosiologi baru berkembang menjadi sebuah ilmu setelah Emile Durkheim mengembangkan metodologi sosiologi melalui bukunya Rules of Sosiological Method. Meskipun demikian, atas jasanya terhadap lahirnya Sosiologi, Suguste Comte tetap disebut sebagai Bapak Sosiologi.
Oleh karena itu, Comte menyarankan agar semua penelitian tentang masyarakat ditingkatkan menjadi suatu ilmu yang berdiri sendiri. Comte membayangkan suatu penemuan hukum-hukum yang dapat mengatur gejala-gejala social. Namun, Comte belum berhasil mengembangkan hukum-hukum social tersebut menjadi sebuah ilmu. Ia hanya memberi istilah bagi ilmu yang akan lahir itu dengan istilah “Sosiologi”. Sosiologi baru berkembang menjadi sebuah ilmu setelah Emile Durkheim mengembangkan metodologi sosiologi melalui bukunya Rules of Sosiological Method. Meskipun demikian, atas jasanya terhadap lahirnya Sosiologi, Suguste Comte tetap disebut sebagai Bapak Sosiologi.
Comte jelaslah dapat terlihat progretivitasnya dalam
memperjuangkan optimisme dari pergolakan realitas social pada masanya, dengan
ilmu social yang sistematis dan analitis. Comte dikelanjutan sistematisasi dari
observasi dan analisanya, Comte menjadikan ilmu pengetahuan yang dikajinya ini
terklarifikasi atas dua bagian, yaitu social statik dan social dinamik.
Social static dan social dinamik hanya untuk
memudahkan analitik saja terbagi dua, walapun begitu keduanya bagian yang
integral karena Comte jelas sekali dengan hokum tiga tahapnya memperlihatkan
ilmu pengetahuan yang holistic. Static social menerangkan perihal nilai-nilai
yang melandasi masyarakat dalam perubahannya, selalu membutuhkan social order
karenanya dibutuhkan nilai yang disepakati bersama dan berdiri atas keinginan
bersama, dapat dinamakan hokum atau kemauan yang berlaku umum. Sedangkan social
dinamik, ilmu pengetahuan yang mempelajari mengenai perkembangan masyarakat
atau gerak sejarah masyarakat kepada arah kemajuannya.
Pemandangan Comte rasanya dapat terlihat dalam penjabarannya mengenai ilmu pengetahuannya, yang mengidamkan adanya tata yang jelas mengendapkan keteraturan social dan kemajuan perkembangan serta pemikiran masyarakat kea rah positif. Sebagai seorang ilmuwan Comte mengharapkan sesuatu yang ideal tetapi, dalam hal ini Comte berbenturan dengan realitas social yang menginginkan perubahan social secara cepat, revolusi social.
Pemandangan Comte rasanya dapat terlihat dalam penjabarannya mengenai ilmu pengetahuannya, yang mengidamkan adanya tata yang jelas mengendapkan keteraturan social dan kemajuan perkembangan serta pemikiran masyarakat kea rah positif. Sebagai seorang ilmuwan Comte mengharapkan sesuatu yang ideal tetapi, dalam hal ini Comte berbenturan dengan realitas social yang menginginkan perubahan social secara cepat, revolusi social.
Comte terpaksa memberikan stigma negative terhadap
konflik, lentupan-lentupan yang mnegembang melalui konflik dalam masyarakat karena
akan menyebabkan tidak tumbuhnya keteraturan social yang nantinya mempersulit
perkembangan masyarakat. Ketertiban harus diutamakan apabila masyarakat
menginginkan kemajuan yang merata dan bebas dari anarkisme social, anarkisme
intelektual. Keteraturan social tiap fase perkembangan social (sejarah manusia)
harus sesuai perkembangan pemikiran manusia dan pada tiap proses fase-fasenya
(perkembangan) bersifat mutlak dan universal, merupakan inti ajaran Comte.C.
Hasil Karya
Comte menganggap pernikahannya dengan Caroline
merupakan kesalahan terbesar, berlanjutnya kehidupan Comte yang mulai memiliki
kestabilan emosi ditahun 1830 tulisannya mengenai “Filsafat Positif” (Cours de
Philosohie Positiv) terbit sebagai jilid pertama, terbitan jilid yang lainnya
bertebaran hingga tahun 1842.
Mulailah dapat disaksikan sekarang bintang keberuntungan Comte sebagai salah satu manusia yang tercatat dalam narasi besar prosa kehidupan yang penuh misteri, pemikiran brilian Comte mulai terajut menjadi suatu aliran pemikiran yang baru dalam karya-karya filsafat yang tumbuh lebih dulu. Comte dengan kesadaran penuh bahwa akal budi manusia terbatas, mencoba mengatasi dengan membentuk ilmu pengetahuan yng berasumsi dasar pada persepsi dan penyelidikan ilmiah.
Tiga hal ini dapat menjadi cirri pengetahuan seperti apa yang sedang Comte bangun, yaitu : :
1.Membenarkan dan menerima gejala sebagai kenyataan.
2.Mengumpulkan dan mengklasifikasi gejala itu menurut hokum yang menguasai mereka.
3. Memprediksi fenomena-fenomena yang akan dating berdasarkan hokum-hukum itu dan mengambil tindakan yang dirasa bermanfaat.
Mulailah dapat disaksikan sekarang bintang keberuntungan Comte sebagai salah satu manusia yang tercatat dalam narasi besar prosa kehidupan yang penuh misteri, pemikiran brilian Comte mulai terajut menjadi suatu aliran pemikiran yang baru dalam karya-karya filsafat yang tumbuh lebih dulu. Comte dengan kesadaran penuh bahwa akal budi manusia terbatas, mencoba mengatasi dengan membentuk ilmu pengetahuan yng berasumsi dasar pada persepsi dan penyelidikan ilmiah.
Tiga hal ini dapat menjadi cirri pengetahuan seperti apa yang sedang Comte bangun, yaitu : :
1.Membenarkan dan menerima gejala sebagai kenyataan.
2.Mengumpulkan dan mengklasifikasi gejala itu menurut hokum yang menguasai mereka.
3. Memprediksi fenomena-fenomena yang akan dating berdasarkan hokum-hukum itu dan mengambil tindakan yang dirasa bermanfaat.
Keyakinan dalam pengembangan yang dinamakannya positifisme semakin besar volumenya, positifisme sendiri adalah faham filsafat, yang cenderung untuk membatasi pengetahuan benar manusia kepada hal-hal yang dapat diperoleh dnegan memakai metoda ilmu pengetahuan. Disini Comte berusaha pengembangan kehidupan manusia denganmenciptakan sejarah baru, merubah pemikiran-pemikiran yang sudah membudaya, tumbuh dan berkembang pada masa sebelum Comte hadir. Comte mencoba dengan keahlian berpikirnya untuk mendekonstruksi pemikiran yang sifatnya abstrak (teologis) meupun pemikirannya yang pada penjelasan-penjelasannya spekulatif.
Comte bukan hanya melakukan penelitian-penelitian atas penjelasan-penjelasan yang perlu dirombak karena tidak sesuai dengan kaidah keilmiahan Comte tetapi layaknya filsuf lainnya, Comte sellu melakukan kontemplasi juga guna mendapatkan argumentasi-argumentasi yang menurutnya ilmiah. Dan, dari sini Comte mulai mengeluarkan agitasinya tentangilmu pengetahuan positive pada saat berdiskusi dengan kaum intelektual lainnya sekaligus menguji coba argumentasi atas mazhab yang sedang dikumandangkannya dengan gencar.
Positifisme Comte sendiri menciptakan kaidah ilmu
pengetahuan baru ini bersandarkan pada teori-teori yang dikembangkan oleh
Condorcet, De Bonald, Rousseau dan Plato, Comte memberikan penghargaan yang
tinggi terhadap ilmu pengetahuan yang lebih dulu timbul.
Pengetahuan-pengetahuan yang sebelumnya bukan hanya berguna, tetapi merupakan
suatu keharusan untuk diterima karena ilmu pengetahuan kekinian selalu bertumpu
pada ilmu pengetahuan sebelumnya dalam system klasifikasi.
Asumsi-asumsi ilmu pengetahuan positive itu sendiri, antara lain :
1. Ilmu pengetahuan harus bersifat obyektif (bebas nilai dan netral) seoramg ilmuwan tidak boleh dipengaruhi oleh emosionalitasnya dalam melakukan observasi terhadap obyek yang sedang diteliti.
Asumsi-asumsi ilmu pengetahuan positive itu sendiri, antara lain :
1. Ilmu pengetahuan harus bersifat obyektif (bebas nilai dan netral) seoramg ilmuwan tidak boleh dipengaruhi oleh emosionalitasnya dalam melakukan observasi terhadap obyek yang sedang diteliti.
2. Ilmu
pengetahuan hanya berurusan dengan hal-hal yang berulang kali
3. Ilmu
pengetahuan menyoroti tentang fenomena atau kejadian alam dari mutualisme
simbiosis dan antar relasinya dengan fenomena yang lain.
Bentangan aktualisasi dari pemikiran Comte, adalah dikeluarkannya pemikirannya mengenai “hokum tiga tahap” atau dikenal juga dengan “hokum tiga stadia”. Hokum tiga tahap ini menceritakan perihal sejarah manusia dan pemikirannya sebagai analisa dari observasi-observasi yang dilakukan oleh Comte.
Versi Comte tentang perkembangan manusia dan pemikirannya, berawal pada tahapan teologis dimana studi kasusnya pada masyarakat primitive yang masih hidupnya menjadi obyek bagi alam, belum memiliki hasrat atau mental untuk menguasai (pengelola) alam atau dapat dikatakan belum menjadi subyek. Fetitisme dan animisme merupakan keyakinan awal yang membentuk pola piker manusia lalu beranjak kepada politeisme, manusia menganggap ada roh-roh dalam setiap benda pengatur kehidupan dan dewa-dewa yang mengatur kehendak manusia dalam setiap aktivitasnya dikeseharian.
Bentangan aktualisasi dari pemikiran Comte, adalah dikeluarkannya pemikirannya mengenai “hokum tiga tahap” atau dikenal juga dengan “hokum tiga stadia”. Hokum tiga tahap ini menceritakan perihal sejarah manusia dan pemikirannya sebagai analisa dari observasi-observasi yang dilakukan oleh Comte.
Versi Comte tentang perkembangan manusia dan pemikirannya, berawal pada tahapan teologis dimana studi kasusnya pada masyarakat primitive yang masih hidupnya menjadi obyek bagi alam, belum memiliki hasrat atau mental untuk menguasai (pengelola) alam atau dapat dikatakan belum menjadi subyek. Fetitisme dan animisme merupakan keyakinan awal yang membentuk pola piker manusia lalu beranjak kepada politeisme, manusia menganggap ada roh-roh dalam setiap benda pengatur kehidupan dan dewa-dewa yang mengatur kehendak manusia dalam setiap aktivitasnya dikeseharian.
Beralih pada pemikiran selanjutnya, yaitu tahap
metafisika atau nama lainnya tahap transisi dari buah pikiran Comte karena
tahapan ini mneurut Comte hanya modifikasi dari tahapan sebelumnya.
Penekanannya pada tahap ini, yaitu monoteisme yang dapat menerangkan
gejala-gejala alam dengan jawaban-jawaban yang spekulatif, bukan dari analisa
empirik.
Tahap positif, adalah tahapan yang terakhir dari
pemikiran manusia dan perkembangannya, pada tahap ini gejala alam diterangkan
oleh akal budi berdasarkan hokum-hukumnya yang dapat ditinjau, diuji dan
dibuktikan atas scara empiris. Penerangan ini menghasilkan pengetahuan yang
instrumental.D.
Auguste Comte adalah manusia yang berjalan di
tengah-tengah antara ideologi yang berkembang (progressive vs konservatif)
berada pada ruang abu-abu (keilmiahan ilmu pengetahuan). Comte memberikan
sumbangsih cukup besar untuk menusia walaupun ilmu pengetahuan yang dibangun
merupakan ide generatif dan ide produktifnya. Comte turut mengembangkan
kebudayaan dan menuliskan : “Sebagai anak kita menjadi seorang teolog, sebagai
remaja kita menjadi ahli metafisika dan sebagai manusia dewasa kita menjadi
ahli ilmu alam”. Hal tersebut adalah maksud dari tahap perkembangan
masyarakatnya yang tercantum dalam hokum tiga stadinya.
4.
Emile
Durkheim
Emile Durkheim (1858-1917 - ditulis Durkheim ), seorang
ilmuan yang terkenal sebagai sosiologi agama dan banyak disebut-sebut sebagai
salah satu dari dua orang pendiri utama sosiologi modern. Berbicara tentang
agama dengan pendekatan sosiologis, tampaknya Durkheim, tidak dapat dilepaskan
dari konteks ini. Durkheim paling terkenal dan bahkan merupakan figur utama
dalam sejarah sosiologi modern dan juga paling berpengaruh terhadap
pemikiran-pemikiran antropologi. Posisi berdirinya setara dengan Karl Marx3 dan
Sigmund Freud4 dalam pemikiran sosiologi dan antropologi abad ke 20. Sosok
Durkheim, dianggap sebagai ”ilmuan pertama” memperkenalkan konsep ”fungsi
sosial” dari ”agama”. Ide-idenya oleh para ahli sosiologi modern telah
digunakan untuk mendefinisikan fungsi-fungsi sosial agama, yaitu: fungsi
solidaritas sosial, memberi arti hidup, kontrol sosial, perubahan sosial dan
dukungan psikologi.
Durkheim, dipandang sebagai pewaris teori positivisme Comte5 yang meluangkan waktu, tenaga dan pemikirannya untuk mendirikan sosiologi sebagai disiplin ilmu tersendiri yang tentu didasarkan pada metode emperik. Salah satu karya ilmiahnya di antara empat karya ilmiah utamanya adalah “The Elementary Forms of the Religious Life (1912) dan sejumlah artikel, monografi dan kuliah-kuliah ilmiah yang disampaikan kepada mahasiswanya. Durkheim, berhasil membangun suatu kerangka dasar yang luas untuk menganalisis sistem sosial yang merupakan bidang sentral bagi sosiologi dan hingga saat ini tetap penting digunakan bagi sosiologi dan sejumlah disiplin ilmu lain yang terkait, khususnya antropologi6. Tetapi di sisi lain, pemikiran Durkheim ini, oleh banyak para ahli dan orang-orang yang tidak atau kurang sependapat, tetapi pada sisi lain pula tetap memandang pemikiran-pemikiran Durkheim ini sebagai sumber rujukan dan acuan.7 Tampaknya Durkheim, kurang atau tidak terlibat dalam peristiwa-peristiwa politik pada masanya. Durkheim lebih menonjol sebagai seorang akademis yang tekun, cermat dan berdedikasi terhadap profesinya sebagai seorang ilmuan.
Durkheim, dipandang sebagai pewaris teori positivisme Comte5 yang meluangkan waktu, tenaga dan pemikirannya untuk mendirikan sosiologi sebagai disiplin ilmu tersendiri yang tentu didasarkan pada metode emperik. Salah satu karya ilmiahnya di antara empat karya ilmiah utamanya adalah “The Elementary Forms of the Religious Life (1912) dan sejumlah artikel, monografi dan kuliah-kuliah ilmiah yang disampaikan kepada mahasiswanya. Durkheim, berhasil membangun suatu kerangka dasar yang luas untuk menganalisis sistem sosial yang merupakan bidang sentral bagi sosiologi dan hingga saat ini tetap penting digunakan bagi sosiologi dan sejumlah disiplin ilmu lain yang terkait, khususnya antropologi6. Tetapi di sisi lain, pemikiran Durkheim ini, oleh banyak para ahli dan orang-orang yang tidak atau kurang sependapat, tetapi pada sisi lain pula tetap memandang pemikiran-pemikiran Durkheim ini sebagai sumber rujukan dan acuan.7 Tampaknya Durkheim, kurang atau tidak terlibat dalam peristiwa-peristiwa politik pada masanya. Durkheim lebih menonjol sebagai seorang akademis yang tekun, cermat dan berdedikasi terhadap profesinya sebagai seorang ilmuan.
Dalam kerangka teorinya, Durkheim mengutamakan arti
penting masyarakat-struktur, interaksi dan institusi sosial-dalam memahami
pemikiran dan perilaku manusia. Hal ini dapat dicermati dari penekanan Durkheim
yang ingin melihat hampir seluruh perubahan utama manusia yaitu persoalan
hukum, moralitas, profesi, keluarga dan kepribadian, ilmu pengetahuan, seni dan
juga agama, dengan menggunakan sudut pandang sosial. Durkheim mengklaim bahwa
tanpa adanya masyarakat yang melahirkan dan membentuk semua itu, maka tak ada
satupun yang akan muncul dalam kehidupan. Di sisi lain, Durkheim juga
mengungkapkan bahwa fakta sosial itu jauh lebih fundamental dibandingkan dengan
fakta individu dan fakta sosial sama nyatanya dengan fakta fisik – dan individu
sering disalah pahami ketika pengaruh masyarakat yang begitu kuat terhadapnya
di kesampingkan atau tidak dipahami dengan teliti.
Dari uraian di atas, makalah ini difokuskan pada pemikiran Durkheim mengenai pendekatan sosiologi, konsep dasar tentang agama, fungsi sosial agama dan analisis kritis terhadap beberapa pemikiran Durkheim.
Dari uraian di atas, makalah ini difokuskan pada pemikiran Durkheim mengenai pendekatan sosiologi, konsep dasar tentang agama, fungsi sosial agama dan analisis kritis terhadap beberapa pemikiran Durkheim.
Sekilas Tentang Emile Durkheim
Durkheim,
dilahirkan pada tahun 1858 di kota Epinal dekat Strasbourg, daerah Timur Laut
Perancis. Ayahnya seorang pendeta Yahudi. Durkheim, kala itu sebagai seorang
pemuda sangat dipengaruhi oleh guru-guru sekolahnya yang beragama Katolik Roma,
walaupun ayahnya seorang pendeta Yahudi. Mungkin pengaruh inilah yang menambah
keterikatannya terhadap masalah agama, ”meskipun guru-gurunya sendiri tidak
dapat menjadikannya sebagai seorang penganut Katolik yang beriman”. Mengapa,
sebab sejak muda Durkheim telah menyatakan dirinya sebagai ”seorang agnostik”.
Tentu, Sikap ini bersimpangan dan kontras dengan ayahnya dan apa yang telah
dipelajari dari guru-guru Katolik-nya sejak mudah. Pada akhirnya, Durkheim, di
dikenal sebagai ”seorang atheis” yang kuat dan selalu bersifat agnostik, yaitu
”tidak pernah mempersoalkan kebenaran keyakinan masyarakat yang sedang
ditelitinya”.
Pada usia 21 tahun, Durkheim memasuki sekolah terkenal di Ecole Normale Superieure di Paris dan mengambil studi sejarah dan filsafat. Pada dasarnya, Durkheim tidak suka dengan program pendidikan yang kaku. Sikap ini, menyebabkan selama belajar di Paris, selalu tidak menyenangkan. Durkheim, setelah menyelesaikan studinya, mengajar filsafat di beberapa sekolah yang ada di Paris. Pada tahun 1885-1886, Durkheim, belajar di Jerman untuk mendalami psikologi kepada Wilhelm Wundt. Pada tahun 1887, Durkheim diangkat sebagai Profesor Sosiologi dan pendidikan di Universitas Bordeaux yang tentu memberinya posisi baru bagi ilmuan sosial dan pendidikan terutama dalam penelitian sosialnya. Kemudian, Durkheim menetap di Jeman sampai tahun 1902 dan selama lima belas tahun di Bordeaux, Durkheim telah menghasilkan tiga karya besar yang diterbitkan dalam bentuk buku, yaitu : (1) The Division of Labor in Society (1893), (2) The Rulesnof Sociological Method (1895) dan (3) Suicide: a Study in Sosiology (1897). Pada saat yang sama pula, Durkheim dan beberapa sarjana lainnya bergabung untuk menerbitkan L’Annee Sociologique, yaitu sebuah jurnal yang memuat artikel-artikel sosial yang kemudian terkenal di seluruh dunia9.
Pada tahun 1902 Durkheim, diangkat sebagai Profesor Sosiologi dan Pendidikan di Universitas Sorbonne, Paris. Perhatian dan minat Durkheim terhadap agama yang pengaruhnya terhadap kehidupan sosial, diwujudkan dalam sebuah karyanya yang berjudul Les Formes elementaires de lavie relegieuse : Le systeme totemique en Australie (1912). Buku ini diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Joseph Ward Swain menjadi The Elementary Forms of the Religious Life (1915). Dalam buku ini, mencoba menemukan “elemen-elemen dasar” yang membentuk semua agama. Oleh karena itu, Durkheim mengemukakan klaim utamanya tentang arti penting teori agama dan pengaruh utama klaim ini pada pemikir-pemikir lainnya secara panjang lebar yang tertuang dalam karya besar tersebut. Kemudian pada awal tahun 1916, anak satu-satunya terbunuh dalam sebuah kampanye militer di Siberia, sehingga membuatnya terserang penyakit stroke dan setahun kemudian, dalam usia 59 tahun tepatnya pada tahun 1917, Durkheim meninggal dunia.
Pada usia 21 tahun, Durkheim memasuki sekolah terkenal di Ecole Normale Superieure di Paris dan mengambil studi sejarah dan filsafat. Pada dasarnya, Durkheim tidak suka dengan program pendidikan yang kaku. Sikap ini, menyebabkan selama belajar di Paris, selalu tidak menyenangkan. Durkheim, setelah menyelesaikan studinya, mengajar filsafat di beberapa sekolah yang ada di Paris. Pada tahun 1885-1886, Durkheim, belajar di Jerman untuk mendalami psikologi kepada Wilhelm Wundt. Pada tahun 1887, Durkheim diangkat sebagai Profesor Sosiologi dan pendidikan di Universitas Bordeaux yang tentu memberinya posisi baru bagi ilmuan sosial dan pendidikan terutama dalam penelitian sosialnya. Kemudian, Durkheim menetap di Jeman sampai tahun 1902 dan selama lima belas tahun di Bordeaux, Durkheim telah menghasilkan tiga karya besar yang diterbitkan dalam bentuk buku, yaitu : (1) The Division of Labor in Society (1893), (2) The Rulesnof Sociological Method (1895) dan (3) Suicide: a Study in Sosiology (1897). Pada saat yang sama pula, Durkheim dan beberapa sarjana lainnya bergabung untuk menerbitkan L’Annee Sociologique, yaitu sebuah jurnal yang memuat artikel-artikel sosial yang kemudian terkenal di seluruh dunia9.
Pada tahun 1902 Durkheim, diangkat sebagai Profesor Sosiologi dan Pendidikan di Universitas Sorbonne, Paris. Perhatian dan minat Durkheim terhadap agama yang pengaruhnya terhadap kehidupan sosial, diwujudkan dalam sebuah karyanya yang berjudul Les Formes elementaires de lavie relegieuse : Le systeme totemique en Australie (1912). Buku ini diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Joseph Ward Swain menjadi The Elementary Forms of the Religious Life (1915). Dalam buku ini, mencoba menemukan “elemen-elemen dasar” yang membentuk semua agama. Oleh karena itu, Durkheim mengemukakan klaim utamanya tentang arti penting teori agama dan pengaruh utama klaim ini pada pemikir-pemikir lainnya secara panjang lebar yang tertuang dalam karya besar tersebut. Kemudian pada awal tahun 1916, anak satu-satunya terbunuh dalam sebuah kampanye militer di Siberia, sehingga membuatnya terserang penyakit stroke dan setahun kemudian, dalam usia 59 tahun tepatnya pada tahun 1917, Durkheim meninggal dunia.
Pendekatan Sosiologi Ala Durkheim
Pendekatan-pendekatan
sosiologi yang digunakan Durkheim, sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran
August Comte (1798-1857)(selanjutnya ditulis Comte). Selain Comte, Durkheim
juga dipengaruhi dan mengikuti tradisi yang digariskan oleh Saint Simon
(1760-1825), Ernets Renan, dan gurunya sendiri Fustel de Coulanges. Saint
Simon, seorang pemikir sosialis awal abad ke-18 yang berpendirian bahwa semua
milik pribadi harus diserahkan kepada negara. Ernest Renan, seorang kritikus
Bibel, juga memiliki keterkaitan terhadap masalah sosial kemasyarakatan pada
zaman Yahudi kuno maupun masyarakat Kristen kontemporer. Fustel de Coulanges,
seorang sejarawan Perancis, menegaskan bahwa sejarah merupakan ilmu tentang
fakta sosial. Studi klasiknya The Ancient City (1864) memfokuskan pada hubungan
antara agama dan kehidupan sosial pada zaman klasik. Selain itu, situasi dan
kondisi Perancis modern yang mengalami revolusi11 besar pada akhir tahun
1800-an juga ikut memberikan pengaruh tersendiri bagi perkembangan pemikiran
Durkheim12 itu sendiri.
Durkheim, sebenarnya seorang murid yang ragu-ragu terhadap pemikiran Comte. Sebagai seorang murid, Durkheim tetap setia pada ajaran Comte yang merupakan perintis teori positivisme Perancis dan juga sekaligus sebagai pencipta istilah ”sosiologi”.13 Pengaruh Comte, pada pemikiran-pemikiran Durkheim, di antaranya yang tampak pada pola ”reorganisasi masyarakat” yang dikemukan oleh Comte yang kemudian disempurnakan oleh Durkheim. Durkheim, melihat konsep Comte cenderung bersifat ”spekulatif” dan ”pragmatis”. Durkheim berusaha membenahi kelemahan-kelemahan pemikiran Comte tersebut dengan berusaha tetap menjaga tujuan umum yang dikehendaki oleh Comte.
Durkheim, sebenarnya seorang murid yang ragu-ragu terhadap pemikiran Comte. Sebagai seorang murid, Durkheim tetap setia pada ajaran Comte yang merupakan perintis teori positivisme Perancis dan juga sekaligus sebagai pencipta istilah ”sosiologi”.13 Pengaruh Comte, pada pemikiran-pemikiran Durkheim, di antaranya yang tampak pada pola ”reorganisasi masyarakat” yang dikemukan oleh Comte yang kemudian disempurnakan oleh Durkheim. Durkheim, melihat konsep Comte cenderung bersifat ”spekulatif” dan ”pragmatis”. Durkheim berusaha membenahi kelemahan-kelemahan pemikiran Comte tersebut dengan berusaha tetap menjaga tujuan umum yang dikehendaki oleh Comte.
Pengaruh lain yang tampak pada kepercayaan Durkheim,
yang menganut sesuatu yang diyakini – terlebih dahulu – oleh Comte, yakni
kepercayaan akan kemungkinan untuk menunjukkan bahwa masyarakat tunduk pada
sebab-sebab alamiah, walaupun Durkheim kurang meyakini rasional total gurunya
tersebut akan posisi organisasi ilmiah masyarakat. Dengan dasar ini, Durkheim
menolak penafsiran ketat dari hukum Comte tentang kemajuan manusia yang ia
anggap sebagai sangat dogmatis dan tidak tepat. Namun Durkheim tetap menyetujui
campuran ilmu pengetahuan dan pembaharuan ala comte. Menurut Durkheim, secara
khusus ilmu sosial dapat diterapkan pada masalah penetapan kembali tatanan
sosial diambang pergolakan-pergolakan revolusioner abad ke-18 dan efek-efek
industrialisasi yang merugikan masyarakat. Durkheim berharap untuk
memperlihatkan bagaimana sebuah konsensus sosial baru dapat menciptakan kembali
nilai-nilai komunitas dan tatanan sosial, tanpa mengorbankan emansipasi manusia
yang berasal dari keambrukan feodalisme.
Dengan
mengadopsi kerangka organis yang dikemukakan Comte yang berwatak positivis,
maka pemikiran Durkheim-pun kental dengan nuansa positivis. Namun tanpaknya
pandangan Durkheim berbeda dengan pemikiran Comte. Sebab ciri khas pemikiran
positivisme Durkheim adalah usaha satu-satunya untuk mendekati masyarakat
sebagai sebuah kenyataan organis yang independen yang memiliki hukum-hukumnya
sendiri. Holisme metodologi Durkheim berkaitan dengan sebuah pendirian yang
sangat deterministik yang berpendapat bahwa individu-individu tidak berdaya
dihadapan pembatasan-pembatasan dari kekuatan-kekuatan sosial yang menghasilkan
penyesuaian diri dengan norma-norma sosial atau tingkah laku yang disebabkan
oleh norma sosial tersebut. Durkheim, juga mengkombinasikan pengambilan jarak
ilmiah dan determinisme kausal dengan kepercayaan bahwa ilmu masyarakat memberi
semacam jawaban untuk masalah-masalah etis normatif dari filsafat tradisional.
Implikasi pandangan ”positivistik” Durkheim terhadap ”moral dalam terapan”, dikategorikan sebagai sebuah ”fakta sosial”. Fakta sosial tersebut didefinisikan sebagai ”cara-cara bertindak, berpikir dan merasa”, yang ”berada di luar individu” dan dilengkapi atau dimuati dengan sebuah kekuatan memaksa yang dapat mengontrol individu. ”Fakta sosial” itulah yang akan mempengaruhi setiap tindakan, pikiran dan rasa dari individu. Durkheim , menyatakan apa yang dipikirkan adalah kebiasaan-kebiasaan, adat istiadat dan cara hidup umum manusia sebagai sesuatu yang terkandung dalam institusi, hukum, moral dan ideologi-ideologi politis. Semua itu dapat saja bekerja dalam kesadaran individu, tetapi menurutnya semua itu merupakan fenomena-fenomena yang dapat dibedakan dan ditemukan dengan mengamati tingkah laku manusia pada umumnya dan bukan dengan memeriksa isi pikiran individu tersebut.15 Durkheim, juga menjelaskan ”fakta sosial” yang berada ”di luar” diri individu dalam arti bahwa ”fakta itu datang kepadanya dari luar dirinya sendiri” dan dapat menguasai tingkah lakunya.
Ciri ”idealistis” atau ”moral” yang diakui berasal dari ”fenomena sosial”, Durkheim tetap berusaha untuk menemukan cara-cara menjelaskan ”fakta sosial” tersebut yang dapat teramati dan terukur. Durkheim menyamakan ”kepadatan sosial” dengan konsentrasi populasi dengan memakai statistik. Misalnya, Durkheim menggunakan angka-angka perceraian untuk membuat sebuah ”pernyataan faktual umum” mengenai masyarakat sebagai keseluruhan dan menganggap proses teramati dari berbagai jenis sanksi hukum sebagai ciri-ciri permukaan dari kenyataan-kenyataan sosial yang mendasarinya. Walaupun ”fakta sosial” dengan cara ini dijelaskan terbuka pada observasi masyarakat, tetapi bagi Durkheim, semuanya itu pada dasarnya merupakan sebuah ”fenomena moral” atau sesuatu yang ”bersifat normatif” berkaitan dengan pengaturan tingkah laku individu, melalui ”sebuah sistem” yang dipaksakan atau merupakan sebuah ”sistem eksternal” yang memaksakan nilai-nilai atau aturan-aturan sebagai sebuah ”sistem moral” atau dengan kata lain penampilan khasnya berupa kewajiban-kewajiban. Menurut Durkheim, bagaimanapun sadarnya individu – ia harus tetap melaksanakan kewajiban-kewajiban itu menurut bahasa, adat istiadat, kebiasaan dan hukum masyarakatnya, di mana kesemuanya itu merupakan ”fakta-fakta sosial” yang tidak direkayasa atau tidak diciptakannya-melainkan ia terpaksa menjalankan dan menyesuaikan dirinya dengan fakta sosial tersebut. Jika individu tidak menyesuaikan diri dengan ”fakta sosial” tersebut-maka individu tersebut akan menderita konsekuensi-konsekuensi penolakan sosial dan menerima hukuman. Maka dari sini, ada sebuah unsur idealisme sosiologis yang jelas dalam teori Durkheim.
Implikasi pandangan ”positivistik” Durkheim terhadap ”moral dalam terapan”, dikategorikan sebagai sebuah ”fakta sosial”. Fakta sosial tersebut didefinisikan sebagai ”cara-cara bertindak, berpikir dan merasa”, yang ”berada di luar individu” dan dilengkapi atau dimuati dengan sebuah kekuatan memaksa yang dapat mengontrol individu. ”Fakta sosial” itulah yang akan mempengaruhi setiap tindakan, pikiran dan rasa dari individu. Durkheim , menyatakan apa yang dipikirkan adalah kebiasaan-kebiasaan, adat istiadat dan cara hidup umum manusia sebagai sesuatu yang terkandung dalam institusi, hukum, moral dan ideologi-ideologi politis. Semua itu dapat saja bekerja dalam kesadaran individu, tetapi menurutnya semua itu merupakan fenomena-fenomena yang dapat dibedakan dan ditemukan dengan mengamati tingkah laku manusia pada umumnya dan bukan dengan memeriksa isi pikiran individu tersebut.15 Durkheim, juga menjelaskan ”fakta sosial” yang berada ”di luar” diri individu dalam arti bahwa ”fakta itu datang kepadanya dari luar dirinya sendiri” dan dapat menguasai tingkah lakunya.
Ciri ”idealistis” atau ”moral” yang diakui berasal dari ”fenomena sosial”, Durkheim tetap berusaha untuk menemukan cara-cara menjelaskan ”fakta sosial” tersebut yang dapat teramati dan terukur. Durkheim menyamakan ”kepadatan sosial” dengan konsentrasi populasi dengan memakai statistik. Misalnya, Durkheim menggunakan angka-angka perceraian untuk membuat sebuah ”pernyataan faktual umum” mengenai masyarakat sebagai keseluruhan dan menganggap proses teramati dari berbagai jenis sanksi hukum sebagai ciri-ciri permukaan dari kenyataan-kenyataan sosial yang mendasarinya. Walaupun ”fakta sosial” dengan cara ini dijelaskan terbuka pada observasi masyarakat, tetapi bagi Durkheim, semuanya itu pada dasarnya merupakan sebuah ”fenomena moral” atau sesuatu yang ”bersifat normatif” berkaitan dengan pengaturan tingkah laku individu, melalui ”sebuah sistem” yang dipaksakan atau merupakan sebuah ”sistem eksternal” yang memaksakan nilai-nilai atau aturan-aturan sebagai sebuah ”sistem moral” atau dengan kata lain penampilan khasnya berupa kewajiban-kewajiban. Menurut Durkheim, bagaimanapun sadarnya individu – ia harus tetap melaksanakan kewajiban-kewajiban itu menurut bahasa, adat istiadat, kebiasaan dan hukum masyarakatnya, di mana kesemuanya itu merupakan ”fakta-fakta sosial” yang tidak direkayasa atau tidak diciptakannya-melainkan ia terpaksa menjalankan dan menyesuaikan dirinya dengan fakta sosial tersebut. Jika individu tidak menyesuaikan diri dengan ”fakta sosial” tersebut-maka individu tersebut akan menderita konsekuensi-konsekuensi penolakan sosial dan menerima hukuman. Maka dari sini, ada sebuah unsur idealisme sosiologis yang jelas dalam teori Durkheim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar