PERMENDIKBUD

Kamis, 02 Juni 2011

Artikel Dehumanisasi Pendidikan

BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Istilah dehumanisasi pendidikan sering dilontarkan di media masa oleh para pengamat an praktisi pendidikan. Beberapa di antaranya ada secara tersirat dalam tulisan bertajuk 'sekolah yang membunuh siswanya' dan malpraktik dalam dunia pendidikan'. (Kompas, 16 Mei 2005). Penggunaan istilah dehumanisai itu mengisaratkan sebagai kritik terhadap beberapa kebijakan pendidikan yang dewasa ini telah dinilai melenceng dari konsep pendidikan yang sebenarnya. Immanuel Kant menyatakan bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Menurut John Duwey juga mengatakan bahwa pendidikan adalah memanusiakan manusia. Menurut konsep ini, anak manusia harus dididik oleh manusia, dengan cara manusia, dan dalam nuansa kehidupan manusia. Dengan cara itu, anak manusia itu akan tumbuh dan berkembang menjadi manusia seutuhnya.
Dehumanisasi merupakan satu masalah mendasar dalam sistem pendidikan nasional. Pendidikan saat ini tidak lagi menghormati dan menghargai martabat manusia dan segala hak asasinya. Akibatnya, melalui proses pendidikan peserta didik tidak tumbuh dalam kemanusiaan sebagai subyek. Mereka justru menjadi korban dalam sebuah sistem yang memaksa mereka mengikuti aturan dalam sistem itu. Alih-alih pembentukan dan pembudayaan yang mereka peroleh. Yang mereka dapat justru stres karena aturan dan pemaksaan yang dibuat oleh orang dewasa terhadapnya tidak mengedepankan psikologi perkembangan peserta didik. Bagaimana mungkin untuk menanamkan mental dan sikap kerja keras, peserta didik dipaksa stres dan bekerja keras memikirkan persiapan ujian nasional (UN) sepanjang tahun.
Pembelajaran tak lagi menarik. Suasana kelas yang dulu menjadi ajang mengembangkan kreativitas dan eksplorasi diri, kini menjadi senyap karena yang ada adalah drilling soal-soal persiapan UN, latihan soal persis lembaga bimbingan belajar yang memang dari sononya lahir untuk menjadi ajang memecahkan soal. Seolah-olah dengan adanya UN, sekolah diajak melupakan tanggung jawab utamanya sebagai ajang pembentukan manusia. Pendidikan pada outputnya kurang bisa meraih ranah afektif. Pengandalan aspek kognitif sangat digalakkan. Mestinya semua ranah pencapaian tujuan pendidikan mesti dioptimalkan. Yang terjadi adalah sang pemegang ijazah yang notabene sudah lulus banyak yang tidak mempunyai jiwa “berpendidikan” secara keseluruhan.
B. Rumusan Masalah
Setelah melihat dari latar belakang tersebut maka ada permasalahan yang muncul yaitu :

1. Bagaimana potret dehumanisasi Pendidikan Indonesia ?

2. Bagaimana cara menyiasati dehumanisasi Pendidikan Melalui Pembangunan Karakter ?

C. Tujuan
Tujuan Penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui potret dehumanisasi Pendidikan Indonesia ?

2. Untuk mengetahui cara menyiasati dehumanisasi Pendidikan Melalui Pembangunan Karakter ?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Potret Dehumanisasi Pendidikan Indonesia
Humanisasi artinya proses menjadikan manusia sebagai manusia sesuai dengan kodratnya sebagai manusia. Sedang dehumanisasi mempunyai arti sebaliknya, yakni proses menjadikan manusia tidak sesuai dengan kodrat nya sebagai manusia.
Di tengah krisis moralitas pendidikan diharapkan mampu menjadi solusi. Tetapi kenyataannya malah berbanding terbalik. Pendidikan tidak mampu melahirkan dan menyuburkan moralitas bangsa. Para pelaku pendidikan justru tidak bermoral. Moral dipahamai dengan sikap dan atau perilaku yang bisa menghargai manusia sesamanya. Manusia yang bisa memanusiakan manusia lainnya. Nilai-nilia kemanusiaan menjadi acuan utama dalam setiap langkah laku manusia. Pendidikan mengajarkan kepada manusia untuk senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut. Tidak hanya sebatas mengajarkan tetapi juga dibarengi dengan memberi tauladan sebagaimana yang telah diajarkan. Pendidikan diharapkan mampu membentuk insan kamil yang tidak pernah mendurhakai nilai kemanusiaan.
Tetapi sekarang, pendidikan menjadi ajang pertengkaran dan manipulasi nilai kemanusiaan. Pendidikan (lembaga pendidikan) tidak lagi menjadi tempat untuk membentuk manusia yang sahih. Pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia justru memberi contoh dehumanisasi. Pendidikan tidak lagi menghargai manusia. Pendidikan lebih senang membuat manusia menderita dalam tekanan yang tak berujung.
Pendidikan yang diharapkan masyarakat akan mampu mengubah tingkat kesejahteraan kehidupannya justru semakin menjadi beban berat. Di beberapa daerah, pelaksanaan pendidikan masih setengah hati. Sedangkan pendidikan yang dilaksanakan di kota-kota besar semakin mahal biayanya. Sehingga banyak calon peserta pendidikan tidak mampu melanjutkan pendidikannya. Slogan “orang miskin dilarang sekolah” semakin kental dengan praktik pendidikan di negara ini.
Mahalnya pendidikan mempersempit kesempatan belajar bagi anak yang ekonomi orang tuanya kurang mampu. Sementara anak yang berprestasi tidak berani mendaftar di sekolah maupun perguruan tinggi favorit. Infrastruktur di lembaga pendidikan tidak diperhatikan secara komperehensif. Hanya lembaga tertentu yang memiliki infrastruktur pendidikan memadai. Padahal di luar pulau Jawa banyak lembaga pendidikan yang masih menggunakan infrastruktur apa adanya. Akhirnya, pendidikan menjadi dipertanyakan, ada apanya?
Infrastruktur di beberapa daerah tertinggal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan pendidikan di negeri ini hanya setengah hati. Beberapa waktu lalu diberitakan Kompas bahwa murid kelas 4 SD belum bisa membaca dan menulis dengan baik. Hal ini disebabkan oleh seringnya jam kosong. Guru yang mengajar di sekolah tersebut terkendala oleh perjalanan yang jauh dan jalan yang masih sulit untuk dilewati.
Di samping itu, beberapa prgram pemerintah menyangkut pendidikan semakin memperkuat dehumanisasi pendidikan. Sertifikasi guru yang semula bertujuan untuk meningkatkan kompetensi guru malah menjadi boomerang. Sertifikasi guru hanya digunakan untuk memperoleh peningkatan finansial. Prof. Baedhowi membuktikannya dengan melakukan riset dengan responden 2.600 guru yang sudah mengikuti sertifikasi dan 2.600 guru yang belum mengikuti sertifikasi diketahui bahwa mayoritas motivasi guru ikut sertifikasi adalah alasan finansial (Kompas, 13/11/2009).
Sertifikasi hanya menjadi ajang untuk mencari kelayakan finansial. Kita tidak bisa menyalahkan guru yang beralasan finansial. Sebab mereka tidak pernah memiliki kesempatan untuk merubah perekonomiannya. Gaji guru yang mereka dapatkan selama ini tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Sedangkan mereka tidak memiliki usaha lain karena terlalu banyak waktu yang tersita di sekolahan. Lagi-lagi sistem pendidikan menjadikan manusia meninggalkan nilai kamanusiaan. Seorang guru yang menjadi tiang bagi pendidikan harus mengemis dalam sertifikasi.
Slogan “guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa” menghegemoni dunia pendidikan di Indonesia. Sehingga jasa guru tidak perlu dihargai dan diperhatikan. Akibatnya guru enggan mengajar, sebab mengajar harus tanpa pamrih dan ikhlas. Ketika guru sedang tidak ikhlas maka ia tidak berangkat mengajar. Sekolah pun tidak berani menegurnya karena merasa tidak memiliki otoritas terhadap guru.
Dehumanisasi dunia pendidikan juga diperkuat dengan tingkat kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan. Tahun 2008 terjadi 1.736 kasus kekerasan terhadap anak dan tahun 2009 terjadi 1.998 kasus. Kebanyakan kasus tersebut terjadi dalam keluarga dan sekolah (Kompas, 12/2/2010). Dengan dalih melatih kedisiplinan peserta didik, sekolah kerap melakukan kekerasan. Sekolah sebagai lembaga pendidikan tidak mengajarkan nilai humanis. Justru sekolah menjadi ajang penekanan psikologis terhadap anak didiknya. Padahal lembaga pendidikan seyogyanya menjadi pengayom dan pendidik peserta didiknya.
Kedisiplinan sekarang ini sudah tidak lagi bisa diterapkan dengan kekerasan. Tetapi kedisiplinan mestinya dilakukan dengan cara dan metode yang santun dan menarik yang dapat menyentuh intuisi peserta didik. Sehingga peserta didik tidak merasa tertekan dalam mengikuti pembelajaran.
Maria Ulfa Anshor (2010) sebagaimana diberitakan Kompas menjelaskan bahwa anak merupakan bagian terpenting dari seluruh proses pertumbuhan manusia. Karena pada masa anak-anaklah sesungguhnya karakter dasar seseorang dibentuk baik yang bersumber dari fungsi otak maupun emosionalnya. Dengan fenomena yang terjadi dalam dunia pendidikan seperti sekarang ini tidak akan mampu menghantarkan tujuan pendidikan pada pintunya. Moralitas bangsa yang menjadi tujuan utama pendidikan semakin kabur. Output pendidikan tidak lagi menghiraukan nilai moralitas dan kemanusiaan. Sebab pelaksanan pendidikan sendiri tidak mendidik dengan baik. Untuk itu jika bangsa ini masih menginginkan tujuan pendidikan tercapai maka permasalahan dalam lembaga pendidikan mesti segera diselesaikan. Kesejahteraan guru mesti diperhatikan. Sebab logikanya, ketika guru sudah tidak lagi memikirkan finansial maka ia akan fokus dengan peserta didiknya. Tetapi ini juga belum juga bisa menjawab problem secara keseluruhan. Pemberian tunjangan sertifikasi perlu hendaknya penanaman kesadaran akan bekerja. Yang paling penting lagi adalah aplikasi moralitas dalam etos kerja. Sebab manusia pada dasarnya mempunyai kecenderungan untuk menyeleweng dan tidak puas akan materi yang didapat. Banyak terjadi setelah dapat tunjangan sertifikasi belum ada perubahan etos kerja yang meningkat.
Selama ini pemerintah belum fokus dalam menggarap aspek pendidikan. Padahal pendidikan merupakan unsur terpenting dan fital dalam setiap dimensi pembangunan dan perkembangan bangsa. Pemerintah belum bisa menghargai hasil pendidikan. Beberapa karya dari pendidikan tak juga mendapat apresiasi yang layak. Sedangkan permasalahan ekonomi dalam dunia pendidikan sudah sedemikian parahnya. Pendidikan hanya sebagai lahan dan wahana menumpuk kekayaan. Tingkat keilmuan tidak lagi diutamakan. Sehingga frame pelajar yang terbentuk adalah untuk mencari uang, bukan belajar untuk mencari kearifan.
B. Menyiasati Dehumanisasi Pendidikan Melalui Pembangunan Karakter
Penyelenggaraan pendidikan karakter yang diharapkan pemerintah terintegrasi ke dalam semua mata pelajaran di sekolah, bukan hal baru dalam dunia pendidikan. Sebab hal serupa, sebelumnya juga berlaku pada pendidikan agama dalam semua mata pelajaran mulai tingkat sekolah dasar hingga sekolah lanjutan atas. Hanya saja, kebijakan pemerintah saat itu tidak berjalan optimal sesuai UU Sistem Pendidikan Nasional karena pendidikan agama cenderung hanya sebagai bahan pelengkap mata ajar dalam kurikulum pendidikan nasional. Akibatnya, pendidikan nasional kering dari nilai-nilai spiritualitas, bahkan mengalami dehuminasi (pengikisan nilai-nilai kemanusian) yang berimplikasi jauh terhadap munculnya kekerasan, anarkisme dan tawuran antarsesama pelajar serta mahasiswa.
Pembangunan pendidikan karakter yang timpang itu, antara lain dikemukakan Dr. Mohammad Sabri AR, MA. Bahkan, Direktur Lembaga Studi Agama dan Perubahan Sosial (LSAPS) UIN Alauddin Makassar ini menegaskan, pendidikan nasional gagal membangun moral bangsa yang bertumpuh pada kecerahan spiritual secara holistik. Sebaliknya, kebijakan pendidikan nasional lebih diarahkan pada penekanan kecedasan intelektual dimana tidak mampu menjawab segala problematika bangsa dan kemanusiaan terutama praktik korupsi yang sudah menjadi perilaku buruk bagi sebagian aparat penyelenggara negara. “Kini pendidikan nasional sepertinya kehilangan makna karena agama sebagai sumber spirit dari sebuah bangsa yang beradab, bermoral dan berkarakter sesuai jati diri bangsa nyaris tidak memberi pengaruh signifikan dalam proses penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Termasuk di sekolah dan perguruan tinggi sebagai pemasok sumberdaya manusia belakangan ini cenderung menjadi sebuah arena pertunjukan kekerasan,’’ jelas pembantu Dekan I Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar.
Penjelasan mantan Kepala Pusat Penelitian UIN Alauddin Makassar itu, bukan tanpa alasan ilmiah. Bahkan, dia menuturkan munculnya sikap kekerasan dan demo anarkisme belakangan ini marak di hampir semua daerah khususnya Makassar cenderung melahirkan sebuah potret buram bagi dunia pendidikan yang nyaris telah kehilangan roh dan tanpa makna. Masalahnya pendidikan agama sebagai sumber moral dan spirit dalam membangun masyarakat yang beradab, sepertinya tidak menjadi penting bagi sebagian pengelola lembaga pendidikan formal dan norfomal termasuk masyarakat sebagai subjek pendidikan dalam konteks luas.
Meski sudah menjadi pengetahuan semua orang kalau pelajaran pendidikan agama hanya memiliki alokasi waktu hanya dua jam selama satu minggu. Sementara pelajaran umum seperti IPA, Matematika rata-rata antara enam sampai delapan jam selama satu minggu. Menurut Drs. H Abd Rahman Halim, M.Ag, pengamat Pendidikan UIN Alauddin, dua jam mata pelajaran agama Islam di sekolah, apa yang bisa diharapkan untuk membangun karakter dan moral peserta didik. Bahkan, sistem pendidikan yang diselenggarakan di negeri ini sepertinya hanya menggiring peserta didik hanya cerdas segi intelektulnya, tapi segi spiritualitasnya terabaikan dan mengalami kekosongan. Akibatnya, pendidikan nasional sekarang mengalami dehuminasasi serta kehilangan arah. Dan bahayanya, pendidikan yang kosong dari nilai kemanusiaan, antara lain praktik KKN akan menjadi-jadi, pengrusakan alam lingkungan dan akan melahirkan kebencian terhadap sesama manusia maupun kelompok yang cenderung menjurus masalah SARA.
Munculnya berbagai aksi demo yang menjurus anarkisme dan tawuran dengan melibatkan antar pelajar dan mahasiswa, Rahman Halim menilai, tak lepas dari dampak dehumanisasi pendidikan yang banyak dirasuki kemajuan modernisasi dan pemahaman sekularism. Muaranya adalah merusak tatanan dunia pendidikan dan karakter anak bangsa. Apalagi, kalau siswa dan mahasiswa melakukan demo anarkisme hingga merusak simbol-simbol Negara seperti mencacimaki presiden termasuk merusak fasilitas umum, sebuah ironi dalam dunia pendidikan. Tapi itulah dampak sebuah sistem pendidikan nasional yang dijalankan hanya mengutamakan keunggulan akademik atau intelektual semata, sementara pengembangan kecerdasan spiritual sebagai esensi utama pendidikan terlupakan dalam realitas proses belajar mengajar .
Seperti kalangan lainnya, Abd Rahman Halim mengatakan, kurikulum yang ada saat ini justru menjejali anak-anak dengan banyak mata pelajaran belum tentu relevan dengan kehidupan. Pembelajaran di sekolah tidak memberikan ruang untuk mendukung tumbuhnya nilai-nioai positif dalam diri anak. Sistem pendidikan masih fokus pada pengembangan satu kecerdasan saja yakni aspek kognitifnya, sedang aspek afektif dan psikomotorik nyaris terabaikan dalam proses evaluasi . Tiga ranah pendidikan itu merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam mencapai tujuan pendidikan nasional.
Terkait pengembangan pendidikan karakter yang ditawarkan pemerintah dan penjabarannya berintegrasi dalam semua mata pelajaran di sekolah, Mohammad Sabri menilai, sebuah wacana pemikiran yang tidak utuh dan bertujuan hanya untuk menyiasati dan menekan aksi kekerasan dalam dunia pendidikan seperti aksi demo dan tawuran kalangan pelajaran. Bagi dia, pendidikan karakter harus dibangun berdasarkan pemikiran uituh yang dimulai dari kesadaran ego manusia yang meliputi dua aspek; subyect dan, identity.
Menurut Mohammad Sabri, jika aspek subyek adalah natur atau qodrat, maka identity adalah melahirkan kesadaran identitas diri dan identitas sosial. Namun, pendidikan karakter yang dibangun dari kesadaran identity sangat menentukan proses lahirnya pendidikan karakter yang utuh dalam penyelenggaraan pendidikan nasional.
Mencari Kucing Hitam
Sementara kalangan lainnya mengatakan, mengembangkan pendidikan karakter itu ibarat mencari kucing hitam dalam kamar yang gelap. Gambaran kucing hitam menunjuk pada berbagai macam tema terbuka yang harus dipertimbangkan secara serius oleh setiap pendidik dan para pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan.
Kendati diskursus ini terbuka dan menarik dibicarakan di berbagai tempat dengan melibatkan banyak pihak. Sehingga pendidikan karakter dirasa perlu kehadirannya baik berkaitan dengan pengembangan pembentukan diri individu secara utuh maupun dampak-dampak pembentukan karakter bagi kelangsungan sebuah masyarakat.
Klaim pemahaman tentang pendidikan karakter bisa melibatkan berbagai macam kepentingan, sepeti politik, budaya, agama, sosial dan pendidikan itu sendiri. Meski begitu, pendidikan karakter dapat dikermbangkan melalui tiga pendekatan; pertama fokus bagi pendidikan karakter, kedua metodologi dan ketiga evaluasi.
Seperti dikutip di Harian Kompas dalam halaman opini, Doni Koesoema,A, pemerhati pendidikan nasional, mengatakan, tiga fokus pendidikan karakter memang mendominasi berbagai wacana dan pemikirtan banyak pihak. Pertama, pendidikan karakter memusatkan diri pada pengajaran (teaching values). Kedua, pendidikan karakter yang memusatkan diri pada klarifikasi nilai (value clarification) dan Ketiga, pendidikan karakter menggunakan pendekatan pertumbuhan moral (character development).
Pendidikan karakter yang berpusat pada pengajaran mengutamakan isi nilai-nilai tertentu yang harus dipelajari serta sekumpulan kualitas keutamaan moral seperti kejujuran, keberanian dan kemurahan hati agar diketahui dan dipahami oleh siswa. Klarifikasi nilai, lebih mengutamakan proses penalaran moral serta pemilihan nilai yang harus dimiliki oleh siswa. Sedangkan fokus pada pertumbuhan karakter moral mengutamakan perilaku yang merefleksikan penerimaan nilai serta menekankan unsur motivasi serta aspek-aspek kepribadian yang relatif stabil dalam mengarahkan tindakan individu.
Fokus pertama, menurut Doni, mengutamakan pengetahuan dan pengertian (intelektual), fokus kedua mengutamakan perilaku tetapi tetap saja mereka memberikan prioritas pada pemahaman serta proses pembentukan dan pemilihan nilai. Sedangkan fokus ketiga mengutamakan pertumbuhan motivasi internal dalam membentuk nilai selaras dengan tahap-tahap perkembangan moral individu.
Berkaitan dengan fokus metodelogi, pendidikan karakter dengan cara memberikan pelajaran khusus seperti ketika masa Orde Baru melalui pelajaran wajib Pendidikan Moral Pancasila (PMP), dikuatirkan akan menjerumuskan pendidikan karakter pada indoktrinasi nalar dan daya kritis siswa. Pendekatan karakter seperti ini kerap dilakukan melalui berbagai macam cara, seperti melalui mata ape;lajaran khusus, integrasi pendidikan dalam setiap mata pelajaran atau pendekatan integral yang menggunakan ruang-ruang pendidikan yang tersedia dalam keseluruhan dinamika pendidikan di sekolah.
Apapun metodoligi yang dipilih setiap pengembangan pendidikan karakter akan memiliki konsekuensi berkaitan dengan kesiapan tenaga guru, prioritas nilai, kesamaan visi antara anggota komunitas sekolah tentang pendidikan karakter, struktur dan sistem pembelajaran, kebijakan sekolah dan dukungan masyarakat.
Berbeda halnya fokus evaluasi, Doni mengungkap, pendekatan yang satu ini kerap membingungkan ketika berbicara tentang pendidikan karakter. Masalahnya, evaluasi adalah cara dan tujuan evaluasi yang sering kali dianggap sebagai bidang yang sulit untuk diukur, dinilai dan dievaluasi.
Masalah evaluasi yang dikaitkan dengan tujuan pendidikan karakter. Apakah evaluai harus dikaitkan dengan kenaikan kelas atau kelulusan, seperti yang selama ini dianjurkan pemerintah dimana penilaian budi pekerti, perilaku, sikap dan kejujuran bisa menjadi alasan untuk tidak menaikkan atau meluluskan siswa.
Realitasnya, kriteria penilaian yang sumir seperti ini seringkali hanya sekadar menjadi macan kertas dan tidak terjadi di lapangan. Asal anak lulus ujian nasional, persoalan budi pekerti, moral, perilaku siswa tampaknya masih bisa diabaikan dan dikompromikan dengan berbagai dalih.


BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Terjadi dehumanisasi pendidikan bisa disebabkan pola penanaman pendidikan kurang menyentuh karakter manusia, sehingga yang terjadi adalah pengeropsan esensi pendidikan yang pada akhirnya akan melemahkan fungsi manusia sebagai manusia..
B. Saran
Perlu ada penanaman nilai-nilai dalam segala aspek sehingga pendidikan berkarakter akan terpenuhi.
Daftra Pustaka:
---------------2005. Pendidikan Budi Pekerti Solusi Penyelamatan bumi
http://oimcuaem.blogspot.com/2010/07/dehumanisasi-pendidikan-indonesia.html
http://edukasi.kompasiana.com/2011/05/05/menyiasati-dehumanisasi-pendidikan-melalui-pembangunan-karakter/
www.suparlan.com

Tidak ada komentar: