PERMENDIKBUD

Minggu, 03 Juli 2011

Metode Penelitian Sosiologi Pendidikan (Teori Mikro)


Metode Penelitian Sosiologi Pendidikan (Teori Mikro)
1.      Teori Fenomenologi
Perspektif Fenomenologi
Penelitian yang menggunakan pendekatan fenomenologis berusaha untuk memahami makna perristiwa serta interaksi pada orang-orang biasa dalam situasi tertentu. Pendekatan ini menghendaki adanya sejumlah assumsi yang berlainan dengan cara yang digunakan untuk mendekati perilaku orang dengan maksud menemukan “fakta” atau “penyebab”.
Jika peneliti menggunakan perspektif fenomenologi dengan paradikma definisi sosial biasanya peneliti ini bergerak pada kajian mikro. Perspektif fenomenoligi dengan paradigm definisi sosial ini akan member peluang individu sebagai subjek penelitian (informan penelitian) melakukan interpretasi terhadap intepretasi itu sampai mendapatkan makna yang berkaitan dengan pokok masalah penelitian, dalam hal demikian Berger menyebutnya dengan first order understanding and second order understanding. Pendekatan fenomenologi mengakuai adanya kebenaran empiric etik yang memerlukan akal budi untuk melacak dan menjelasskan serta berargumentasi. Akal budi ini mengandung makna bahwa kita perlu menggunakan criteria lebih tinggi lagi dari sekedar true or false (Muhadjir, dalam Tjipto 2009: 68).
1.      Teori Interaksi simbolis
Interaksi simbolik dalam sosiologi pendidikan juga menunjang dan mewarnai aktifitass akademik riset kualitatif. Bagian penting dalam interaksi simbolik adalah konstruksi antara diri pribadi (self). Dalam membentuk atau mendefinisikan diri, orang berusaha melihat dirinya sebagaimana orang-orang lain melihat dirinya dengan menafsirkan gerak isyarat dan perbuatan yang ditunjukkan kepadanya dan dengan jalan menampatkan dirinya pada peranan orang lain.
Menurut Noeng Muhadjirin dalan Tjipto (2009: 81) konsep interaksi simbolik bertolak pada tujuh posisi dasar, yaitu:
1)             Bahwa perilaku manusia itu mempunyai .makna dibalik yang menggejala,  sehingga diperlukan metoda untuk mengungkapkan perilaku yang terselubung
2) Pemaknaan kemanusiaan manusia perlu dicari sumbernya pada interaksi sosial manusia. Manusia membangun lingkungannya, manusia membangun dunianya, dan kesemuanya dibangn berdasrkan simpati, dengan bentuk tertinggi mencintai sesama manusia dan mencintai Tuhan
3) Bahwa masyarakat manusia itu merupakan proses yang berkembang holistik, tidak terpisah, tidak linier, dan tidak terduga.
4) Perilaku manusia itu berlaku berdasarkan penafsiran fenomenologik, yaitu berlangsung atas maksud, pemaknaan dan tujuan, bukan di tujukan atas proses mekamik atau otomatik, perilaku manusia bertujuan dan tidak terduga.
5) Konsep mental manusia itu berkembang dialektik, mengakui adanya tesis, antithesis, dan sintesis, sifatnya idealitik bukan materialisti
k.
6) Perilaku manusia itu wajar, dan konstruktif kreatif, bukan elementer reaktif
7) Perlu di gunakan metoda instrospeksi simpatetik, menekankan pendekatan intuitif untuk menangkap makna (Muhadjir, dalam Tjipto 2009: 82).
Dari perspektif simbolik, semua organisasi sosial terdiri dari para pelaku yang mengembangkan definisi tentang suatu situasi atau prspektif lewat proses interpretasi dan mereka bertindak dalam makna definisi tersebut.

2.      Teori Etnografi
Menurut Bogdan dan Bilken dalam Tjipto (2009: 83) dijelaskan bahwa kerangka kerja yang digunakan dalam melaksanakan studi antropologi adalah onsep tentang kebudayaan (the concept of culture). Usaha untuk mendiskripsikan budaya atau aspek budaya disebut (ethnography). Budaya merupakan pengetahuan yang diperoleh seseorang dan digunakan untuk menginterpretasikan pengalaman yang menghassilkan sesuatu (Spradly dalam Tjipto, 2009: 83).
Beberapa antropologi mendefinisikan kebudayaan sebagai “Pengetahuan perolehan yang digunakan orang untuk menafsirkan pengalaman dan membuahkan tingkahlaku” (Spradly dalam Tjipto, 2009: 83). Dalam pengertian ini budaya merangkum apa yang dilakukan orang, dan barang-barang yang dibuat dan dipergunakan. Untuk mendiskripsikan budaya dalam perspektif ini, seorang peneliti meungkin berfikif tentang perristiwa dan kemudian menjelaskan peristiwa itu (menjelaskan tingkahlaku orang dengan jalan mendiskripsikan apa yang dialaminya).
Peneliti Etnografi agar dapat mencapai tujuan perlu memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1)      Peneliti dituntut memiliki pengetahuan dan dedikasi yang tingi, sebab etnografi diperlukan pengamatan, interaksi dengan responden, atau anggota komunitas tertentu dalam waktu yang relative lama.
2)           Etnografi umumnya tidak tertarik dengan generalisasi seperti pada penelitian  psikometrik, tetapi lebih tertarik untuk memotret kondisi apa adanya.
3) Fokus etnografi adalah situasi nyata dan setting secra alamiah dimana orang beraktifitas dan berhubungan sosial dengan anggota masyarakat lainnya.
4) Etnografi menempatkan pada perlunya koleksi dan interpretasi data dari hipotesis yang sudah diterapkan.
5) Etnografi bergerak dari data dalam mencari hipotesis, bukan hipotesis mencari data.
Dari hipotesis yang dibangun peneliti, etnografi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu Naturalistic Ecological Hypotheses (NEH) dan Qualitative Phenomenological Hypothesis (QHP). Naturalistic Ecological Hypothesis menyatakan bahwa konteks duania perilaku terjadi pada subjek yang diteliti, memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku subjek tersebut. Sedangakan dalam penelitian Qualitatif Phenomenological Hypothesis lebih mengkonsentrasikan etnografi dibnding dengan psikometrik, karena peneliti lebih percaya bahwa perilaku manusia tidak dapat dimengerti dengan lebih baik tanpa meleburkan diri bersama (incorporating) kedalam pengamatan persepsi subjek serta system kepercayaan diri mereks yang terlibat dalam penelitian.

Muhyi Batu Bara. 2004. Sosiologi pendidikan, Jakarta: PT. Ciputat Press
 Subadi, Cipto.2009. Sosiologi dan Sosioogi Pendidikan. Kartasura : Fairus Media

Tidak ada komentar: